Minggu, 24 April 2016

Makalah Pendekatan dalam Pengkajian Islam

URGENSI KITAB IHYA’ ‘ULUM AD DIN
KARYA IMAM AL-GHAZALI

Makalah Pendekatan dalam Pengkajian Islam

Dosen pembimbing:
Dr. H. Umar Ibrahim, M.Ag


Disusun oleh:

ASEP SUPRIATNA




PROGRAM STUDI MAGISTER AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PTIQ JAKARTA
2016




MUKADIMAH

Kitab Ihya’ Ulum ad-Din merupakan salah satu karya monumental yang menjadi intisari dari seluruh karya imam al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ Ulum ad-Din berarti menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Sebagaimana judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama yang akan menuntut umat Islam, tidak berorintasi pada kehidupan dunia belaka, akan tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama.
Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din disusun pada waktu ketika umat Islam teledor terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah imam al-Ghazali kembali dari rasa keragu-raguan dengan tujuan utama untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Mengapa demikian? Ketika itu, umat Islam acuh terhadap ilmu-ilmu Islam dan mereka libih asyik dengan filsafat barat. Oleh karena itu, al-Ghazali tergugah hatinya untuk membersihkan hati umat dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar baik Islam ataupun barat (orentalist) dengan menghadirkan sebuah karya ilmiah ditengah-tengah umat Islam. Dalam makalah ini penulis sengaja akan membahas alasan dan urgensi penulisan kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, karena kitab ini merupakan kitab yang fenomenal dalam dunia Islam dan banyak dijadikan sebagai rujukan para penulis setelahnya.
·      Rumusan masalah
a)    Apakah yang melatar belakangi Imam al-Ghazali menulis kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din?
b)   Bagaimanakah urgensi daripada kitab Ihya’ ‘Ulum Ad-Din?
·      Hipotesa
 Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah hasil pengalaman, pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman al-Ghazali di dalam berbagai ilmu. Kitab tersebut adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak) terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan
Keistimewaan kitab ini adalah memuat semua ilmu-ilmu. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menyusun terdiri atas empat rubu’ (Perempatan) yaitu: Rubu’ (seperempat kitab tentang) ibadah, rubu’ (seperempat kitab tentang) adat (kebiasaan), rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang membinasakan, rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang menyelamatkan. Alasan pembagian tersebut adalah karena dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti) karena ilmu yang diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah. Tujuan dari kitab ini adalah mu’amalah saja, bukan ilmu mukasyafah yang tidak ringan untuk memasukkannya di dalam buku-buku meskipun itu menjadi puncak tujuan para penuntut ilmu dan keinginan pandangan para siddiqin”.


PEMBAHASAN

A.  Alasan penulisan kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din
Berangkat dari keragu-raguan imam al-Ghazali tentang bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu Yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf, maka beliau memutuskan untuk berkhalwat (menyepi) dengan tujuan mujahadah nafsiyah atau melatih nafsunya, namun beliau harus meninggalkannya, dan mengembara dari sebuah kota ke kota lainnya dengan membagi waktu untuk menjalankan ibadah, mengarang, studi dan mencari ilmu. Di tengah pengembaraan inilah beliau menulis kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din.[1]
Al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif. Kegiatannya di bidang tulis menulis tidak pernah berhenti sampai ia meninggal dunia. Kehidupan menyendiri yang dilaluinya tidak membuatnya berhenti menulis. Bahkan pada masa inilah ia menyusun karya yang terkenal Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Dalam muqaddimah kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din al-Ghazali mengatakan:
“Ketiga, saya beristikharah kepada Allah SWT mengenai timbulnya cita-cita untuk menulis sebuah buku tentang menghidupkan ilmu-ilmu agama (Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn). Keempat, saya merasa terpanggil untuk memotong keta’ajubanmu wahai pencela yang keterlaluan dalam mencela dari golongan orang-orang yang ingkar, yang berlebih-lebihan dalam mencaci dan mengingkari dari golongan orang-orang yang lalai”. [2]
Alasan-alasan di atas menyebabkan al-Ghazali berpendapat bahwa sibuk menulis kitab adalah penting untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama (Islam), membuka tentang jalan-jalan para imam yang terdahulu, dan menjelaskan tujuan-tujuan ilmu-ilmu yang bermanfaat di sisi para Nabi dan ulama salaf yang salih. Kemudian beliau mengatakan :
Adapun ilmu jalan akhirat dan apa yang ditempuh oleh ulama salaf yang salih, yang disebut oleh Allah Yang Maha Suci dalam kitab-Nya dengan fiqh, hikmah, ilmu, cahaya, nur (sinar), hidayah (petunjuk) dan rusyd (petunjuk),maka telah terlipat dari kalangan makhluk dan menjadi sesuatu yang dilupakan. Ketika hal ini menggerogoti agama dan urusan yang gelap gulita maka saya berpendapat bahwa sibuk dengan menulis kitab ini adalah penting untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama (Islam), membuka jalan-jalan para imam terdahulu dan menjelaskan tujuan ilmu-ilmu yang bermanfaat di sisi para nabi dan ulama salaf yang salih”. [3]
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad Dīn berbeda dengan kitab-kitab lain dalam lima hal.
Orang-orang telah mengarang beberapa kitab mengenai sebagian pengertian-pengertian ini tetapi kitab ini berbeda dengannya dalam lima hal, yaitu: pertama, menguraikan apa yang masih terbuhuldan membuka apa yang masih global. Kedua, mengurutkan apa yang belum teratur dan mengatur apa yang tercerai berai. Ketiga, Meringkas apa yang mereka panjang lebarkan dan menepatkan apa yang mereka putuskan. Keempat, membuang apa yang mereka ulang-ulang dan menetapkan apa yang mereka tuliskan. Dan kelima, mentahkik urusan-urusan yang samar yang menyebabkan salah faham yang sama sekali belum dikemukakan di dalam buku-buku”. [4]
Jadi, faktor yang melatarbelakangi penyusunan kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah seperti yang nampak pada ciri-ciri utama kitab ini yang dijelaskan sendiri oleh pengarangnya sebagai berikut, yaitu: (a) menganalisis dan menyoroti; (b) menata ulang; (c) memadatkan formulasi; (d) mempertegas dan mempertajam persoalan; (e) melengkapi dalam hal-hal yang terlampau (tercecer) terhadap keseluruhan apa yang telah dan sedang berkembang dalam pertumbuhan dan pembinaan ilmu-ilmu agama (Ulūm ad-Dīn) selama lima abad.
Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah hasil pengalaman, pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman al-Ghazali di dalam berbagai ilmu. Kitab itu adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak) terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan. Hal itulah yang kemudian disajikan oleh al-Ghazali kepada kaum muslimin dengan kitabnya yang terkenal di segala penjuru dunia itu.
Namun di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti: al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Khulasah ‘Ilm Fiqh, al-Munqil fi ‘Ilm al-Jadal (Ilmu berdebat), Ma’khaz al-Khalaf, Lubab an-Nazar, Tahsin al-Ma’akhiz dan al-Mabadi’ wa alGayat fi Fann al-Khalaf.[5]
B.  Urgensi kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din
Kitab Ihya' Ulumuddin, buah karya Al Ghazali adalah salah satu karya besar dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpusatakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Al Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, namun yang menjadi intisari dari seluruh karangan beliau itu ialah kitab Ihya' ‘Ulum ad Din. Imam Sayyid Bakri Adimyathi berkata :
Dan tidak ada yang membantah Ihya’ Ulumiddin itu melainkan orang yang sesat lagi menyesatkan, bahkan berkata sebagian arifin; “Demi Allah, jika sekiranya Allah bangkitkan orang mati niscaya tidaklah mereka berpesan terhadap mereka yang hidup, melainkan dengan apa yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, dan di dalamnya ada manfa’at pelajar pemula, tinggi, dan tawassuth (sedang/tengah-tengah) karna di dalamnya disebutkan perkara yang patut untuk tiga golongan tersebut”. Tetaplah kalian dengan melazimkan Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karna dia itu tempat “pandangan” Allah dan keridloan-Nya. maka barangsiapa yang mencintainya dan menelaahnya serta mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya, maka sesungguhnya Ia telah berhak memperoleh kecintaan Allah dan kecintaan Rosul-Nya, kecintaan malaikat malaikat-Nya, kecintaan para Nabi-Nya, kecintaan para Wali-Nya, dan berarti Ia telah menjadikan antara Syari'at, Thoriqot, dan Hakikat di dunia dan akhirat dan jadilah Ia orang yang alim di alam malakut”.[6]
Dalam menyusun kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn ini, pada dasarnya al-Ghazali memakai sistematika ilmu fiqih dengan pengelompokan arba’iah (terdiri dari empat rub’), yaitu: Rubu’ (seperempat kitab tentang) ibadah, rubu’(seperempat kitab tentang) adat (kebiasaan), rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang membinasakan, rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang menyelamatkan. Alasan pembagian tersebut adalah karena dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti) karena ilmu yang diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah,[7]seperti yang dikatakan sendiri dalam mukaddimah kitabnya dengan Taswīr al-kitāb bi sūrah al-fiqh. Tetapi al-Ghazali melakukan rekonstruksi atas setiap rub’ dengan penataan baru pada materi-materinya. Al-Ghazali memberikan landasan pokok bagi ibadah-ibadah yang lazimnya dimulai dengan pembahasan “thaharah” kemudian “shalat”, dan seterusnya dengan landasan ilmu dan iman (kepercayaan).
Karena kekhususan-kekhususan kitab ini, Ada dua hal mengapa al-Ghazali mengasaskan kitab ini pada empat rub’(perempatan).
“Maka inilah kekhususan-kekhususan kitab ini yang memuat semua ilmu-ilmu ini. Sesungguhnya yang membawa saya untuk mengasaskan kitab ini pada empat rub’(perempatan) adalah dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti) karena ilmu yang diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’āmalah dan ilmu mukāsyafah. Yang saya maksud dengan ilmu mukāsyafaha dalah sesuatu yang dari padanya dituntut menyingkap sesuatu yang diketahui (ma’lum), dan yang saya maksud dengan ilmu mu’āmalahadalah sesuatu yang dari padanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Tujuan dari kitab ini adalah mu’āmalah saja, bukan ilmu mukāsyafah yang tidak ringan untuk memasukkannya di dalam buku-buku meskipun itu menjadi puncak tujuan para penuntut ilmu dan keinginan pandangan para siddiqin”. [8]
Dengan demikian kitab Ihya’ ‘Ulum Ad Din dengan kajian pembahasannya yang menarik, dan mencakup segala aspek keilmuan, sangatlah cocok dipelajari bagi setiap tingkatan. Kitab ini lebih menekankan amaliah syariah (perbuatan yang sesuai dengan syariat) agar pembaca selalu berpegang teguh pada aturan syariat Islam yang murni sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
KESIMPULAN

          Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah merupakan sebuah karya hasil dari pengalaman, pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman al-Ghazali di dalam berbagai ilmu. Kitab itu adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak) terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan
Keistimewaan kitab ini adalah memuat semua ilmu-ilmu. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menyusun terdiri atas empat rubu’ (Perempatan) yaitu: Rubu’ (seperempat kitab tentang) ibadah, rubu’(seperempat kitab tentang) adat (kebiasaan), rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang membinasakan, rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang menyelamatkan. Alasan pembagian tersebut adalah karena dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti) karena ilmu yang diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah. Tujuan dari kitab ini adalah mu’amalah saja, bukan ilmu mukasyafah yang tidak ringan untuk memasukkannya di dalam buku-buku meskipun itu menjadi puncak tujuan para penuntut ilmu dan keinginan pandangan para siddiqin”.

DAFTAR PUSTAKA

Adimyathi, Sayyid Bakri, Kifayatul Atqiyaa wa Minhaj al Syfiyaa, Semarang: Thoha Putra, t.th.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld. I, Semarang: Thoha Putra, t.th.
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, Judul Asli: Dirasatun Muqāranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet. 2
Hasan, Sulaiman, Fathiyah, Sistem Pendidikan versi al-Ghazali, terj.Fathur Rahman dan Syamsuddin Asyrafi, Judul Asli: al-Madzhabut Tarbawi indal Ghazali, Bandung: Alma’arif, 1986, Cet. 1





[1] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi al-Ghazali, terj.Fathur Rahman dan Syamsuddin Asyrafi, Judul Asli: al-Madzhabut Tarbawi indal Ghazali,(Bandung: Alma’arif, 1986), Cet. 1, hal. 133
[2]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld. I, (Semarang: Thoha Putra, t.t.), hal.2
[3]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld. I, hal.3
[4] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld. I, hal.4
[5] Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, Judul Asli: Dirasatun Muqāranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah,(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. 2, hlm. 131.
[6] Sayyid Bakri Adimyathi, Kifayatul Atqiyaa wa minhaj al Syfiyaa, Semarang: Thoha Putra, t.t., hal 98
[7] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld. I, hal.5
[8] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld. I, hal.4-5

Jumat, 22 April 2016

Makalah Sejarah Peradaban Islam

PERADABAN MANUSIA PADA MASA NABI MUSA AS

Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Peradaban Islam

Dosen : Dr. Muhammad Hariyadi, MA



 













Disusun Oleh :
Asep Supriatna







MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUTE PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN (PTIQ)
 JAKARTA 1437 H/ 2015 M

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kisah Nabi Musa As dalam Al-Qur’an diceritakan secara detail dalam berbagai peristiwa yang terjadi pada dirinya sejak ia dilahirkan, diangkat menjadi nabi dan rasul hingga akhirnya ia berhadapan dengan Fir‘aun dan kaumnya bani Israilyang ingkar kepada Allah swt dan kepadanya, sehingga tokoh Nabi Musa as sedikit demi sedikit mulai terlihat dan semakin jelas perkembangannya sesuai dengan peristiwa yang dialaminya.
Kisah-kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an sering dihubungkan dengan Fir‘aun. Fir‘aun adalah sebutan bagi para raja-raja Mesir ketika itu. Fir‘aun yang berkuasa pada masa Nabi Musa as bernama Ramses II (Menephtah) yang hidup sekitar tahun (1232-1224 SM) seorang raja yang zalim lagi diktator dan berlaku sewenang-wenang kepada kaum bani Israil, bahkan ia juga mengaku dirinya sebagai tuhan.[1] Maka terjadilah pertentangan antara Nabi Musa as dengan Fir‘aun, hingga akhirnya ia dan pengikutnya ditenggelamkan oleh Allah swt ke dalam laut, melalui mu‘jizat yang diberikanNya kepada Nabi Musa as karena keangkuhan dan kesombongan Fir‘aun yang tidak mau mengakui Allah swt sebagai Tuhan dan tidak mengimani ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa as.[2]
Adapun kisah nabi Musa menyerupai kisah nabi Muhammad SAW. yang datang dengan  membawa syari’at diniyah dan dunyawiyah. Dalam surat al-A’raf terdapat banyak kisah tentang  perjalanan nabi Musa ‘alaihi salam tapi dalam makalah di sini penulis fokus pada pembahasan mengenai peradaban manusia pada masa nabi  Musa ‘alahi salam yang sezaman dengannya.
Hamka menyebutkan bahwa salah satu faktor dari pengulangan kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an adalah untuk menguatkan hati Nabi Muhammad saw dalam berjuang menghadapi permusuhan, kecurangan dan penghianatan bangsa Yahudi di Madinah, yaitu Bani Qoinuqo‘, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, sehingga Allah swt mengingatkan kembali kisah Nabi Musa as saat menghadapi kesombongan Fir‘aun yang juga ingkar dan tidak mau beriman terhadap ajaran yang dibawa oleh NabiMusa as, agar menumbuhkan rasa percaya diri dan menguatkan hati sekaligus membangkitkan semangat Nabi Muhammad saw dan orang beriman dalam menghadapi cobaan yang mereka hadapi. [3]
Kisah-kisah tersebut diceritakan dalam Al-Qur’an secara berulang-ulang, sehingga menarik perhatian penulis untuk menganalisis keistimewaan dari kisahkisah tersebut, mengapa Allah menceritakannya berulang kali di dalam Al-Qur’an yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya? ditambah lagi dengan adanya bukti nyata peninggalan dari kisah sejarah tersebut berupa mumi (jasad) Fir‘aun yang masih terjaga sampaisaat ini.[4]
Kemudian faktor yang lain dari pengulangan kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an adalah karena perjuangan yang dihadapi Nabi Musa as hampir sama beratnya dengan pejuangan yang dihadapiNabi Muhammad saw, sehingga dapat menjadi perbandingan bagi Nabi Muhammad saw dan orang beriman bahwa para nabi terdahulu juga menghadapi cobaanyang berat dalam menegakkan agama Allah SWT. [5]




B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1.     Bagaimana sejarah dan karakteristik kaum bani Israil sebelum kelahiran nabi Musa as?
2.     Bagaimana sejarah kelahiran nabi Musa as ?
3.     Bagaimana peradaban manusia pada masa kerasulan nabi Musa as?

C.    Tujuan penulisan
1.     Mengetahui sejarah dan karakteristik kaum bani Israil pra kelahiran nabi Musa as
2.     Mengetahui sejarah kelahiran nabi Musa as
3.     Mngetahui peradaban manusia pada masa kerasulan nabi Musa as




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Karakteristik Kaum Bani Isra’il pra kelahiran Nabi Musa AS
Kata Banu (Bani) berasal dari kata ba’, nun’ dan waw yang secara literal  mengandung  pengertian sesuatu yang lahir dari yang lain. Dalam al-Qur’an kata yang berasal dari akar kata tersebut ditemukan sebanyak 161 kali. Kata Bani itu sendiri disebutkan sebanyak 49 kali, 41 di kaitkan dengan Israel. selebihnya sebanyak 6 kali dikaitkan dengan keturunan Adam. Sedang dua kali diantaranya berbicara tentang putra saudara laki-laki dan perempuan. Dari ayat-ayat tersebut ternyata bahwa term Bani, semuanya mengisyaratkan adanya hubungan darah.[6] Sedangkan Israel adalah gelar yang dianugrahkan tuhan kepada Nabi Yakub, maka karena bangsa yahudi adalah anak keturunanya, maka disebut bani Israel.[7]
Bani Isra’il adalah sebuah komunitas keturunan Isra’il (ya‘quubiyah yuusuf) yang cukup besar di Mesir. Fir’aun demikian kejam kepada Bani Isra’il antara lain karena mereka menganut akidah yang berbeda dengan keyakinan yang dianut oleh Fir’aun dan kaumnya. Bani Isra’il menganut agama kakek mereka, Ibrahim dan Ya’qub. Meski akidah mereka telah terkena penyimpangan dan kekacauan, namun kepercayaan akan satu Tuhan masih tetap ada. Selain itu, mereka juga tidak mengakui Fir’aun sebagai Tuhan dan mengingkari semua berhala Fir’aunisme.[8]
Bani Israel mulai dari nenek moyang mereka, Ibrahim, Ishak, dan Ya’qub adalah penganut setia  agama atau ajaran yang secara prinsip mengEsakan Tuhan. Mengenai rumusan ibadat sehari-hari agama  tersebut tidak menentukan suatu syarat dan rukunnya, sehingga ada kemungkinan masing-masing  kelompok Yahudi dapat merumuskanya menurut pendapat serta pengetahuan mereka masing-masing,  dimana dalam hal ini para rahib memegang peranan yang sangat penting. Akan tetapi dalam kitab  perjanjian lama terdapat juga suatu ajaran yang dapat kita golongkan dalam hukum Muamalat dan Syakhsyiyah sebagaimana yang terdapat dalam kitab Imamat.[9]
Pada dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang beradab. Mereka disibukkan dengan pembangunan peradaban. Mereka memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Dan barangkali kelompok-kelompok dari masyarakat Mesir meyakini bahwa Fir'aun bukan tuhan namun karena mereka mendapat tantangan keras dari Fir'aun dan Fir'aun tidak ingin dari kaurnnya kecuali agar mereka menaat inya  sehingga  mereka pun terpaksa menyembunyikan keimanan dalam diri mereka. Jadi tuhan-tuhan berhala banyak sekali di Mesir. Hal yang bisa dipahami adalah, bahwa Fir'aun menguasai semua macam tuhan dania mengisyaratkan dengannya dan berbicara atas namanya. Yang demikian ini adalah sangat jelas di Mesir.
Dijelaskan bahwa Fir‘aun adalah sebutan bagi para raja-raja Mesir ketika itu. Fir‘aun yang berkuasa pada masa Nabi Musa as bernama Ramses II (Menephtah) yang hidup sekitar tahun (1232-1224 SM) seorang raja yang zalim lagi diktator dan berlaku sewenang-wenang kepada kaumBani Israil, bahkan ia juga mengaku dirinya sebagai Tuhan.[10] Dan ada juga yang menyebutkan bahwa ia berkuasa pada tahun 1230-1215 SM.[11]
Fir’aun pada zaman Nabi Musa adalah raja yang suka menindas dan menganiaya terhadap kaum Bani Isra’il. Agar jangan sampai diturunkan dari seorang raja, banyak anak-anak laki-laki yang masih bayi disembelih, karena khawatir kalau kelak sudah besar akan menjadi musuh yang bisa merobohkan kerajaannya. Tidak begitu saja upaya yang diperbuat Fir’aun untuk menjaga terhadap kelangsungan menjadi raja di negara Mesir, para penduduknya juga dipisah-pisah menjadi beberapa golongan, satu sama lain saling membuat keributan, Fir’aun memanfaatkan kondisi itu. Ia menempuh cara yang keji dan kejam untuk menghabisi Bani Isra’il.[12]
Manusia saat itu benar-benar tunduk terhadap pernyataan orang-orang kafir. Mereka menaati barangkali itu karena terpaksa perkataan Fir'aun. Mesir kembali menggunakan sistem multi tuhan setelah sebelumnya disinari oleh tauhid yang disuarakan oleh Nabi Yusuf. Sementara itu, anak-anak Yakub atau anak-anak Israil mereka telah menyimpang dari tauhid. Mereka mengikuti orang-orang Mesir. Sedikit sekali dari keluarga  mereka yang masih mempertahankan agama tauhid secara tersembunyi.
Menurut fakta-fakta sejarah, jelas sekali bahwa kaum Bani Israel telah mengabaikan sumber  akidah yang hakiki yaitu sumber yang datang dari langit, dan sebaliknya mereka justru mengikuti  sumber-sumber yang lain. Kaum Bani Israel telah mengalami berbagai macam peristiwa yang berbahaya dalam kehidupan mereka, seperti kehidupan yang mereka alami di Mesir, penindasan atas mereka di  Palestina, dan pembuangan terhadap mereka di negeri Babylon. Dalam masa situasi pelarian mereka  itulah mereka menulis kitab Taurat dan menyusun kitab Talmud (Kitab Agama Yahudi) serta protokol-protokol pendeta-pendeta Zionis yang nanti akan dapat kita saksikan. ini yang menjadi sumber-sumber agama Yahudi.[13]
Datanglah suatu masa atas Bani Israil dimana mereka semakin banyak dan semakin menyebar. Mereka mengerjakan berbagai macam pekerjaan, dan mereka memenuhi pasar-pasar Mesir. Berlalulah hari demi hari. Mesir diperintah oleh seorang raja yang bengis di mana orang-orang Mesir menyembahnya. Raja yang jahat ini melihat Bani Israil semakin banyak dan semakin berkembang serta mengambil posisi-posisi penting.
Raja mendengar pembicaraan Bani Israil tentang berita yang samar di mana dalam berita itu dikatakan bahwa salah seorang anak Bani Israil akan menjatuhkan Fir'aun Mesir dari singgasananya. Barangkali berita itu berasal dari suatu mimpi dari mimipi-mimpi hidup atau mimpi nyata yang mengelilingi hati kelompok minoritas yang tertindas, dan mungkin itu merupakan berita gembira yang tersebut dalam kitab-kitab  mereka. Apa pun halnya, berita  ini telah sampai di  telinga Fir'aun.
B.    Kelahiran Nabi Musa AS
Nabi Musa A.S. adalah seorang bayi yang dilahirkan dikalangan Bani Isra'il yang pada ketika itu dikuasai oleh Raja Fir'aun yang bersikap kejam dan zalim. Nabi Musa as adalah putra Imran bin Qahitsbin ‘Azir bin Lawi bin Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim[14] beribukan Yukabad. Menurut pendapat lain bahwa ibu Nabi Musa as bernama Ayarikha, dan sebagian ‘ulama ada yang menyebutkan Ayadzikha.[15] Beliau merupakan salah satu nabi ūlu alazmi (memiliki ketetapan hati) yang kisahnya banyak disebutkan di dalam AlQur’an. Kisah-kisah Nabi Musa as diceritakan secara berulang-ulang di berbagai surat dan tidak dikhususkan dalam satu surat saja sebagaimana kisah nabi Yusuf as. Dalam al-Quran tidak disebut oleh Allah nama Musa kecuali yang diberi Kitab Taurat. Ahli Kitab berpendapat bukan Musa bin Imran, yang dimaksud dalam surat al-Kahfi, Tapi Musa ibnu Misya bin Yusuf bin Ya’qub, Nabi sebelum Musa bin Imran. Kebanyakan para Ulama berpendapat, yang shahih ialah Musa bin Imran Nabi dan Rasul Bani Israel.[16]
Suatu ketika Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut. Ada pula yang berpendapat, bahwa yang mendorong Fir’aun melakukan tindakan keji ini adalah karena berita yang sampai kepadanya dari Bani Israil bahwa nanti akan muncul dari kalangan mereka seorang anak yang menjadi penyebab hancurnya kerajaan Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani Israil hingga tersebar di kalangan orang-orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke telinga Fir’aun.[17]
Ibnu Abbas berkata, “Setelah Fir’aun bermimpi, pada pagi harinya Fir’aun mengumpulkan dukun-dukunnya. (Setelah mendengar isi mimpi Fir’aun), para dukun itu mengatakan, ‘Pada tahun ini akan lahir seorang anak laki-laki, ia kelak akan menggulingkan kekuasaanmu”. Serta merta Fir’aun memutuskan bahwa setiap seribu wanita, harus dijaga seratus tentara. Setiap ada seratus wanita, dijaga sepuluh tentara. Setiap ada sepuluh wanita, harus dijaga seorang tentara. Lalu ia memerintahkan, ‘Perhatikan dengan seksama setiap wanita hamil di wilayah ini. Apabila telah melahirkan, lihatlah. Kalau bayinya laki-laki, maka sembelihlah. Dan kalau bayinya perempuan, maka biarkanlah.[18]
Raja Fir'aun segera mengeluarkan perintah agar semua bayi lelaki yang dilahirkan di dalam lingkungan kerajaan Mesir dibunuh dan agar diadakan pengusutan yang teliti sehingga tiada seorang pun dari bayi lelaki, tanpa terkecuali, terhindar dari tindakan itu. Maka dilaksanakanlah perintah raja oleh para pengawal dan tenteranya. Setiap rumah dimasuki dan diselidiki dan setiap perempuan hamil menjadi perhatian mereka pada saat melahirkan bayinya.
Yukabad, isteri Imron bin Qahat bin Lawi bin Ya'qub sedang duduk seorang diri di salah satu sudut rumahnya menanti datangnya seorang bidan yang akan memberi pertolongan kepadanya melahirkan bayi dari dalam kandungannya itu.
Bidan datang dan lahirlah bayi yang telah dikandungnya selama sembilan bulan dalam keadaan selamat, segar dan sehat afiat. Dengan lahirnya bayi itu, maka hilanglah rasa sakit yang luar biasa dirasai oleh setiap perempuan yang melahirkan, namun setelah diketahui oleh Yukabad bahwa bayinya adalah lelaki maka ia merasa takut kembali. Ia merasa sedih dan khuatir bahwa bayinya yang sangat disayangi itu akan dibunuh oleh orang-orang Fir'aun. Ia mengharapkan agar bidan itu merahsiakan kelahiran bayi itu dari sesiapa pun. Bidan yang merasa simpati terhadap bayi yang lucu dan bagus itu serta merasa betapa sedih hati seorang ibu yang akan kehilangan bayi yang baru dilahirkan memberi kesanggupan dan berjanji akan merahsiakan kelahiran bayi itu.
Setelah bayi mencapai tiga bulan, Yukabad tidak merasa tenang dan selalu berada dalam keadaan cemas dan khuatir terhadap keselamatan bayinya. Allah memberi ilham kepadanya agar menyembunyikan bayinya di dalam sebuah peti yang tertutup rapat, kemudian membiarkan peti yang berisi bayinya itu terapung di atas sungai Nil. Yukabad tidak boleh bersedih dan cemas ke atas keselamatan bayinya karena Allah menjamin akan mengembalikan bayi itu kepadanya bahkan akan mengutuskannya sebagai salah seorang rasul.
Dengan bertawakkal kepada Allah dan kepercayaan penuh terhadap jaminan Illahi, mak dilepaskannya peti bayi oleh Yukabad, Setelah ditutup rapat dan dicat dengan warna hitam, terapung dipermukaan air sungai Nil. Kakak Musa diperintahkan oleh ibunya untuk mengawasi dan mengikuti peti rahasia itu agar diketahui di mana ia berlabuh dan ditangan siapa akan jatuh peti yang mengandungi arti yang sangat besar bagi perjalanan sejarah umat manusia.
Al-Marghubi menyebutkan bahwa Fir‘aun mempunyai isteri yang bernama Asiah binti Muzahim bin Asad bin Ar-Rayyan Al-Walid. Para pelayan dari isteri Fir‘aun inilah yang menemukan Nabi Musa as (Musa kecil) yang dihanyutkan oleh ibunya dalam peti yang terkunci, lalu diserahkannya kepada Asiah. Ia lalu membuka peti tersebut dan ketika ia melihat wajah Nabi Musa as (Musa kecil) yang bersih dan bersinar dengan cahaya kenabian dan keagungan, ia pun jatuh hati dan ingin mengasuhnya. Namun Fir‘aun menolaknya dan segera akan membunuhnya karena ia takut kalau anak inilah yang akan mengambil alih kekuasaannya, hingga akhirnya Asiah memohon kepada suaminya, Fir‘aun, agar diperkenankan untuk memelihara Nabi Musa as (Musa kecil) sebagai anak mereka karena mereka saat itu belum memiliki keturunan.[19]
Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 8-9:

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menjadi musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Ha- man beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah isteri Fir'aun: "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. janganlah kamu membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedang mereka tiada menyadari.” (QS. Al-Qashash :  8-9)
Al-Marghubi menjelaskan bahwa ibu Nabi Musa as bersama suami dan anak-anaknya tinggal di kerajaan Fir‘aun, mereka diberikan fasilitas dan pelayanan yang baik, hingga akhirnya Nabi Musa as (Musa kecil) pun kembali berkumpul dengan keluarganya dan hidup bahagia.
Raja Fir'aun sesekali tidak terlintas dalam fikirannya yang kejam dan zalim itu bahwa kerajaannya yang megah, menurut apa yang telah tersirat dalam Lauhul Mahfudz, akan ditumbangkan oleh seorang bayi yang justeru diasuh dan dibesarkan di dalam istananya sendiri akan diwarisi kelak oleh umat Bani Isra'il yang dimusuhi, dihina, ditindas dan disekat kebebasannya. Bayi asuhnya itu ialah laksana bunga mawar yang tumbuh di antara duri-duri yang tajam atau laksana fajar yang timbul menyingsing dari tengah kegelapan yang mencekam.
C.    Nabi Musa Hijrah ke Madyan
Musa mengetahui dan sadar bahwa ia hanya seorang anak pungut di istana dan tidak setitik darah Fir'aun pun mengalir di dalam tubuhnya dan bahwa ia adalah keturunan Bani Isra'il yang ditindas dan diperlakukan sewenang-wenangnya oleh kaum Fir'aun. Karenanya ia berjanji kepada dirinya akan menjadi pembela kepada kamunya yang tertindas dan menjadi pelindung bagi golongan yang lemah yang menjadi sasaran kezaliman dan keganasan para penguasa. Demikianlah maka terdorong oleh rasa setia kawannya kepada orang-orang yang madhlum dan teraniaya, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkan ia terpaksa meninggalkan istana dan keluar dari Mesir.
Al-Marghubi menceritakan bahwa Nabi Musa as merasa begitu takut dan khawatir kalau berita ini sampai kepada Fir‘aun, maka ia akan mendapatkan hukuman yang sangat berat bahkan akan dibunuh. Apalagi Nabi Musa AS melakukan hal tersebut untuk membela bani Israil yang sangat dibenci oleh Fir‘aun. Maka Allah SWT mengilhamkan kepadanya agar keluar dari Mesir untuk menyelamatkan diri menuju negeri Madyan. Maka Nabi Musa as pun berjalan sambil berdo’a kepada Allah swt agar ditunjukkan jalan yang benar, hingga akhirnya ia sampai ke negeri Madyan dan menjalankan kehidupannya yang baru di sana selama beberapa tahun.
Hal tersebut dijelaskan Allah swt dalam surat Al-Qashash ayat 20-22:
Artinya: “dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, Dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu. dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi): "Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar".(QS. Al-Qashash : 20-22)
Ketika Nabi Musa as tiba di negeri Madyan, ia mendapati dua orang wanita yang ingin memberi minum ternaknya. Ternyata kedua wanita tersebut adalah putri Nabi Syu‘aib as. Karena Nabi Musa as melihat mereka kesulitan dalam memberikan minum ternaknya, Nabi Musa as pun menolongnya hingga akhirnya ketika mereka pulang dan menceritakan perihal pertolongan yang mereka dapati dari seorang pemuda yang tidak mereka kenal namun begitu baik dan sopan. Nabi Syu‘aib as pun menyuruh putrinya memanggil pemuda itu ke rumah mereka dan bertemulah Nabi Musa as dan Nabi Syu‘aib as.
Firman Allah swt dalam surat Al-Qashash ayat 23-25 menjelaskan hal tersebut:

Artinya: “dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, ke- mudian Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan Balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu".(QS. Al-Qashash : 23-25)
Nabi Musa as menikah dengan putri Nabi Syu‘aib as setelah permintaan putri Nabi Syu‘aib as kepada ayahnya agar menjadikannya sebagai pekerja bagi mereka, karena Nabi Musa as merupakan sosok yang kuat dan dapat dipercaya.
Hal tersebut dijelaskan Al-Marghubi, bahwa kuatnya Nabi Musa as dikarenakan ia bisa mengangkat batu dari sebuah sumur yang hanya bisa diangkat oleh sepuluh orang saat membantu putri Nabi Syu‘aib as memberi minum ternak mereka. Sedangkan Nabi Musa as seorang yang dapat dipercaya adalah karena ketika putri Nabi Syu‘aib as mengajak Nabi Musa as menemui ayahnya. Nabi Musa as meminta ia (putri Nabi Syu‘aib as) berjalan di belakangnya dan apabila sampai di persimpangan maka lemparkanlah kerikil agar ia tahu bagaimana memilih jalan.
D.    Kisah Nabi Musa Bersama Nabi Khidir
Kisah yang terjadi dalam antara nabi khidir dan nabi Musa dalam alQuran diceritakan dalam surat  al-Kahfi ayat 60-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka`ab menceritakan bahwa ia mendengar Nabi  Muhammad saw bersabda:
”suatu hari Musa berdiri dihadapan bani Israil kemudian ia ditanya: ‘siapakah orang yang paling berilmu?.’Musa menjawab.’Aku’. lantas Allah menegur Musa mealui firma-Nya,”sesungguhnya disisi Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan ia lebih berilmu daripadamu, Musa pun bertanya, Wahai tuhanku,dimanakah aku dapat menemuinya?.Allah berfirman. ‘bawalah seekor  ikan menggunakan suatu wadah, jika ikan itu menghilang, disanalah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.
Teguran dari Allah tersebut menghadirkan keinginan yang kuat didalam diri Nabi Musa AS untuk  menemui hamba yang shalih itu, yang dimaksudkan oleh Allah SWT, selain itu, nabi Musa AS pun  ingin  belajar kepada hamba tersebut.
Dalam beberapa hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan nama guru itu ialah  Khidir . khidir merupakan kalimat dari bahasa arab yang artinya hijau. Dalam proses perjalanan Musa dan khidir pun terjadi dialog-dialog yang membuat bingung Musa atas tingginya  ilmu yang dimiliki  Khidir,  mulai  dari  apa  yang  dilakukan  Khidir  sampai  apa  yang  ia katakan  kepada Musa, hal  tersebut semakin membuat Musa semangat untuk menambah khazanah ke-ilmuan beliau dalam mencari keridhoan Allah.
Dialog antara Musa dan Khidir bermula ketika Musa menemukan majma`Bahrain (bertemunya dua  lautan) yang dimaksudkan Allah dalam surat al-Kahfi  ayat 61, dalam ayat tersebut, pada mulanya Musa memperkenalkan diri kepada Khidir. Musa memberi salam kepada Khidir dan berkata  kepadanya: “saya  adalah Musa” Khidir bertanya: “Musa dari bani Israil?” Musa menjawab, “Ya,  benar!” ,maka Khidir  memberi hormat kepadanya seraya berkata, “apa keperluanmu datang kemari?” Nabi Musa menjawab  bahwa beliau datang kepadanya supaya memperkenankan mengikutinya dengan maksud agar Khidir  mau mengajarkan padanya sebagian ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholeh.
Kemudian dialog tersebut berlanjut dalam ayat 67, dalam ayat ini Khidir menjawab pertanyaan nabi  sebagai berikut: “Hai Musa kamu tidak akan sabar mengikutiku, karena aku memiliki ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya, dan kamu memiliki ilmu yang telah  diajarkan Allah kepadamu yang aku tidak  mengetahuinya.”
Kemampuan  Khidir  meramal  sikap  nabi  Musa  kalau  sampai  menyertainya didasarkan pada  ilmu laduni yang telah beliau terima dari Allah disamping ilmu anbiya` yang dimilikinya, seperti yang dijelaskan pada ayat 65 diatas.
Tafsir  al-Azhar  menjelaskan  ketidak sabaran Musa terbukti  ketika pada  awal  mulanya  Nabi  Musa  bermunajat  kepada  Allah  dan  disana  beliau diberitahu  tentang  kedurhakaan  kaumnya  dengan  menyembah  anak  lembu, beliau  belum  terlalu  marah,  tetapi  ketika  kembali  dan  melihat  kenyataan, maka  amarahnya  memuncak,  dia  menarik  kepala  saudaranya  yakni  Nabi harun as, serta melemparkan lauh-lauh Taurat yang baru saja diterimanya dari Allah SWT.
Kemudian di ayat 68, Khidir menegaskan kepada Nabi Musa tentang sebab  beliau  tidak  akan  sabar  nantinya  jika  terus  ikut  bersamanya.  Karena ajaran  khidir  berupa  ilmu  hakikat sedangkan  Musa  ajaranya  berupa  ilmu Syariat dan  hal  tersebut  sangatlah  bertentangan,  oleh  Karena  itu,  Khidir berkata  kepada  Musa  “bagaimana  kamu  dapat bersabar  terhadap perbuatanperbuatan  ku  yang  secara  lahiriah  menyalahi  syaria`tmu,  padahal  kamu seorang Nabi”.atau mungkin juga kamu akan mendapati pekerjaan-pekerjaanku yang secara lahiriah bersifat mungkar, sedang pada hakikatnya kamu tidak mengetahui maksud atau kemaslahatanya..
Perlu diingat bahwa Nabi Musa ketika mengucapkan janjinya diatas, tentu saja tidak dapat memisahkan diri dari syariat dan agaknya beliau yakin bahwa hamba Allah yang shaleh pasti mengikuti tuntunan Allah. Disini beliau juga  menjawab pernyataan Khidir dengan sangat halus juga, dia menilai pengajaran yang akan diterimanya merupakan perintah yang harus diikutinya. Dengan  menyebut  insyaallah, Nabi Musa tidak dapat dinilai berbohong dengan ketidaksabaranya, karena dia telah berusaha, namun itulah kehendak Allah  yang  bermaksud  membuktikan adanya  seorang  yang  memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa as .
Dalam ayat 70 dijelaskan, Khidir dapat menerima Musa as dengan syarat  yang  tertera  dalam  quran  “jika  kamu  (Musa)  berjalan  bersamaku (Khidir)  maka  janganlah  kamu  bertanya  tentang  sesuatu  yang  aku  lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalanya, janganlah kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan  keadaan  yang  sebenarnya”.  Hal  ini  menunjukkan  jiwa kewibawaan yang dimiliki Khidir dalam  membimbing Musa dalam menuntut ilmu, dari cara beliau memberi syarat kepada Khidir agar dia tidak bertanya kepadanya apabila sesuatu itu belum dijelaskan.
Dialog  yang  terjadi  antara  Musa  dan  Khidir  tidak  berhenti  sampai disini  saja,  proses  dialog  selanjutnya  terjadi  ketika  Nabi  Musa  mengikuti perjalanan  beliau  Khidir.  Proses  gejolak  batin  dan  prinsip-prinsip  yang mereka miliki dari sinilah awal mulanya, dimana Musa yang berfaham ilmu Syariat tidak setuju dengan apa yang diperbuat Khidir, karena apa yang beliau lakukan  berlawanan  dengan  syariat.  adapun  Khidir  yang  berilmu  hakikat (kebenaran  ilahi)  dimana  semua  yang  diperbuat  beliau  adalah  benar, akan tetapi dari sudut pandang ilmu yang tidak dimiliki Musa.
Setelah  beberapa  pengalaman  yang  dilalui  Musa  dan  Khidir  dalam perjalanan  mereka  berdua,  dan  timbulnya  beberapa  pertanyaan yang dilontarkan  Musa  kepada  Khidir,  padahal  sebelumnya  Khidir  telah mengatakan  kepada Musa, bahwasanya Musa  tidak  akan  sabar terhadap apa yang  akan  dilakukan  Khidir  yang  jelas-jelas  berlawanan  dengan  ajaran Syari`at Musa, dan selanjutnya dibawah ini akan kami jelaskan tentang ayat-ayat  yang  menjelaskan  tentang  rahasia  dibalik  perbuatan  Khidir  yang dipandang  sebagai  perbuatan  yang  ganjil  oleh  Musa.  Sebab  Allah  memberi kepada Khidir hikmah-hikmah ilmu yang termasuk dalam bidang hakikat.
Sudah tiga kali Musa melakukan pelanggaran, dari sini Khidir memberi kesudahan  terhadap  pertemuan  mereka  berdua  dan  beliau menyatakan  perpisahan,  karena  itu  beliau  berkata  inilah  perpisahan  antara aku dengan mu wahai Musa apalagi engkau  sendiri  telah menyatakan kesediaanmu kutinggal jika engkau melanggar lagi, namun sebelum berpisah aku akan  memberitahukan kepadamu  cerita  yang  pasti  tentang  makna  dan tujuan  dibalik  peristiwa-peristiwa  dimana  engkau  tidak  dapat  sabar terhadapnya.
Demikianlah penjelasan Khidir tentang berbagai tindakanya yang tidak biasa yang membuat  Nabi  Musa tidak  sabar  atas apa  yang  dilakukan beliau Khidir, yang bertentangan dengan ilmu syaria`t  yang dianut  Nabi  Musa dan hal  tersebut membuat ketidak sabaran Musa sehingga ia selalu ingin tahu dan mempertanyakan apa yang ada dibalik perbuatan Khidir.
Allah telah menganugerahkan ilmu kepada Khidir berupa ilmu hakikat dan hal ini tidak mungkin dimilikinya kecuali setelah membersihkan dirinya dan hatinya dari ikatan syahwat jasmani. Sebagaimana nabi Musa yang telah sempurna  ilmu  syaria`tnya  diutus  oleh  Allah untuk  menemui  Khidir  supaya belajar darinya  ilmu Hakikat  sehingga dari sini sempurnalah ilmu yang wajib dituntut oleh setiap orang yang beriman yaitu ilmu tauhid, fiqih dan tasawwuf atau iman, islam dan ihsan.
E.    Kerasulan Nabi Musa As
Kembalinya Nabi Musa as ke Mesir, menurut kebanyakan pendapat para ‘ulama karena rasa rindu kepada keluarganya. Nabi Musa as bermaksud mengunjungi keluarganya di Mesir dengan penampilan yang tidak dikenali.
Namun ketika di perjalanan Nabi Musa as melihat api yang menyala dari gunung Ath-Thur, karena saat itu malam sangat gelap dan dingin sehingga Nabi Musa as ingin membuat api untuk isteri dan anak-anaknya dengan menggosok-gosokkan batang kayu namun tidak bisa menyala. Disebutkan juga oleh sebagian `ulama bahwa Nabi Musa as dan keluarganya tersesat hingga ahkirnya ia melihat cahaya terang seperti api dan berharap bisa mendapat petunjuk dari cahaya tersebut. Inilah awal dari kerasulan NabiMusa as.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Qashash ayat 29:
* $£Jn=sù 4Ó|Ós% ÓyqãB Ÿ@y_F{$# u$yur ÿ¾Ï&Î#÷dr'Î/ [tR#uä `ÏB É=ÏR$y_ ÍqÜ9$# #Y$tR tA$s% Ï&Î#÷dL{ (#þqèWä3øB$# þÎoTÎ) àMó¡nS#uä #Y$tR þÌj?yè©9 Nä3Ï?#uä $yg÷YÏiB AŽy9sƒ¿2 ÷rr& ;ourõy_ šÆÏiB Í$¨Z9$# öNä3ª=yès9 šcqè=sÜóÁs? ÇËÒÈ  
Artinya : “Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan Dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: "Tunggulah (di sini), Sesungguhnya aku melihat api, Mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan". (QS. Al-Qashash : 29)
Allah swt memberikan wahyu pertama kali kepada Nabi Musa as dengan cara berbicara langsung kepadanya, sehingga Nabi Musa as mendapat gelar Kalimatau Kalimullah(Allah berbicara padanya). Ada dua orang nabi yang berbicara langsung dengan Allah saat menerima wahyu dan mukjizatNya, yaitu: (1) Nabi Musa as ketika menerima  wahyu dan mukjizatnya dan (2) Nabi Muhammad saw ketika isra’ mi’raj menerima perintah shalat.
Firman Allah swt yang menerangkan hal tersebut terdapat dalam beberapa surat, yaitu:
Pertama dalam surat An-Nisa’ ayat 164:
  
Artinya: “dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’ : 164)
Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: kalimullah sedang Rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu Nabi Muhammad SAW. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi'raj.
Dan Allah SWT berfirman dalam surat Thaha ayat 11-14:

Artinya: “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa. Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.(QS. Thaha : 11-14)
Ayat di atas menjelaskan tempat pertama kali Nabi Musa as menerima wahyu dari Allah swt dan diangkat menjadi nabi dan rasul, yaitu di lembah suci Thuwa di bukit Ath-Thur atau bukit Huraib di Sinai.
Kemudian Allah SWT berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 144:

Artinya : “Allah berfirman: "Hai Musa, Sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu Termasuk orang-orang yang bersyukur." (Q.S : Al-A’raf : 144)
Ayat-ayat dari beberapa surat di atas menjelaskan bahwa Nabi Musa as merupakan salah satu nabi yang mendapatkan keistimewaan dari Allah swt ketika menerima wahyu. Allah swt berbicara langsung kepada Nabi Musa as untuk mengangkatnya menjadi nabi dan rasul.
F.    Peradaban Manusia Masa Nabi Musa
1.     Peradaban Non Fisik
a)    Sistem Pemerintahan
Setiap peradaban dibangun atas aturan dan peraturan. Di Mesir kuno, pemerintah berpusat pada Firaun, yang diyakini oleh masyarakat sebagai dewa hidup. Jenis pemerintahan di Mesir Kuno adalah teokratis. Bahkan, pada periode Kerajaan Baru, ketika Akhnaton memaksa orang-orang untuk menyisihkan dewa-dewa kuno demi Tuhan tunggal, hubungan antara agama dan pemerintahan sangat erat terjalin.
Pada masa Nabi Musa Demokrasi sudah lahir sebagai sebuah gerakan elit (Rabbi yahudi) dengan tujuan untuk mengingkari Nabi Musa dan Tuhan, sekitar 3500 tahun yang lalu. Definisi, Pengertian dan substansi Demokrasi pertamakalinya lahir dalam Kitab Talmud (Kitab yang disucikan oleh Yahudi), jauh sebelum demokrasi lahir di Yunani. Demokrasi menurut Talmud sebagai berikut : “Dengan cahaya talmud dan mishna dan segala ucapan imam-imam agung bahwa telah diundangkan ” bermusyawaralah dan berapatlah dan berlakulah pilihan kehendak suara banyak itu, karena suara banyak adalah tuhan”.
Talmud (kitab gubahan dari Taurat yang disesuaikan dengan kepentingan, dendam dan kepribadian bangsa Yahudi) bagi bangsa yahudi adalah kitab yang paling suci dan paling agung. yahudi Talmud berbeda dengan ”yahudi Musa” dan ’yahudi Ya’qub”. Kitab Talmud ditulis oleh para sesepuh bangsa isreal yang tertindas dibawah perpecahan, kehancuran, pengusiran dan penawanan pada masa Nabi Musa.
Sejumlah orang melaksanakan keputusan Firaun, imam dan orang suci. Sehingga, terbentuklah kelas sosial diantara masyarakat, karena adanya perlakuan khusus dari mereka, terutama kepada kaum bangsawan. Struktur pemerintahan Mesir kuno juga melibatkan pejabat lainnya, termasuk wazir, komandan militer, kepala bendahara, menteri pekerjaan umum, dan pemungut pajak, yang berhubungan langsung dengan Firaun.
Perpajakan ada di bawah pemerintahan Mesir, meskipun sebagian besar dalam bentuk barang dan tenaga kerja. Warga yang direkrut menjadi militer, bila diperlukan, atau kerja paksa untuk membayar pajak tenaga kerja, tergantung apa yang perlu dilakukan pada saat itu. Pada zaman Kerajaan Lama, raja sering dikontrol semua sumber daya dan mereka hanya memberikannya kepada orang-orang yang membayar pajak dan tetap setia kepada pemimpin mereka, meskipun lalim.
b)   Pertanian
Peradaban Mesir Kuno bertahan lebih dari 3000 tahun sehingga peradaban Mesir Kuno disebut sebagai peradaban kuno terlama di dunia, sekitar tahun 3300 SM sampai 30 SM.
Oleh karena hujan musiman di Afrika, setiap tahun aliran Sungai Nil membanjiri tepi sungai. Menurut mitos, air sungai yang mengalir terus tersebut adalah air mata Dewi Isis yang selalu sibuk menangis dan menyusuri sungai Nil untuk mencari jenazah puteranya yang gugur dalam pertempuran. Ketika luapan air menyusut, tanah tersebut menjadi subur karena humus yang dibawa oleh aliran sungai. Sama seperti di Mesopotamia, daratan sungai Nil juga membutuhkan pengelolaan yang cermat. Efek peristiwa alami ini memungkinkan orang Mesir Kuno mengembangkan suatu perekonomian yang berdasar pada hasil pertanian.
Ketika para petani telah mempunyai surplus pangan dan waktu luang barulah mereka membangun kebudayaan; perdagangan, administrasi, seni, arsitektur, dan lain-lain. Sungai Nil juga digunakan sebagai jalan raya air untuk transportasi.
Ada beberapa faktor alam lain yang menjadikan Mesir sebagai peradaban besar. Kebanyakan daerah Mesir beriklim tropis, ini dapat dilihat dari lamanya matahari bersinar. Mesir memiliki musim panas lebih lama dari musim dingin, dengan sekitar 12 jam sinar matahari per hari pada musim panas, dan sekitar 10 jam sinar matahari per hari pada musim dingin.
c)    Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Lembah Nil yang subur menghasilkan gandum, sayur-mayur, dan buah-buahan yang cukup. Masyarakat terbagi atas golongan-golongan, yaitu; Firaun dan keluarganya, bangsawan, pedagang dan usahawan, petani, pekerja dan budak. Di bawah firaun, terdapat bangsawan yang dapat turut mengecap kehidupan yang mewah. Di bawah bangsawan, terdapat golongan pedagang dan usahawan. Mereka berdiam di kota-kota dan dapat mengenyam pula hidup yang lebih baik. Sebaliknya, rakyat terbanyak yang terbagi atas tiga golongan, yaitu petani, pekerja, dan budak, hidup serba kekurangan. Petani-petani meskipun memiliki hasil-hasil tanaman, tetapi para pengumpul pajak memungut sebagian terbesar dari panen mereka. Pekerja-pekerja di kota-kota hidup miskin. Yang terburuk nasibnya ialah budak-budak yang harus bekerja keras untuk kaum firaun dan kaum bangsawan.
2.    Perkembangan Peradaban fisik
a)    Patung
Seni kuno patung di Mesir berkembang untuk mewakili dewa-dewa kuno, firaun, dan raja-raja Mesir dalam bentuk fisik. Patung ini dimaksudkan untuk memberikan hidup yang kekal kepada raja dan ratu, selain itu juga untuk memungkinkan subyek dapat melihat mereka dalam bentuk fisik. Oleh karena itu, adanya konvensi yang ketat dalam kerajinan patung di Mesir; seperti patung laki-laki lebih gelap daripada patung perempuan, pada patung duduk, tangan ditempatkan pada lutut dan adanya aturan khusus dalam tampilan setiap dewa Mesir.
Konvensi secara ketat diikuti dengan kerajinan patung; patung laki-laki yang lebih gelap daripada yang perempuan, pada patung duduk, tangan ditempatkan pada lutut dan terdapat aturan khusus yang diatur pada setiap tampilan patung setiap dewa Mesir. Sebagai contoh, dewa Horus pada dasarnya diwakili dengan kepala falconos, dewa Anubis, dewa upacara pemakaman ditunjukkan dengan kepala jackalos.



b)   Mumi
Orang-orang Mesir dulu terkenal dalam membuat mumi. Tetapi itu membawa mereka berabad-abad untuk mencari cara keluar yang terbaik untuk melestarikan firaun yang telah mati. Terbukti, bahwa cara mereka sangat baik, karena itu hingga kini kita masih bisa menemukan mumi di Mesir hari ini. Pembalsem dilakukan dalam proses mumifikasi. Adapun urutan proses mumifikasi:
Langkah 1 : Cuci tubuh mayat dengan tuak dan air dari Sungai Nil.
Langkah 2 : Membuat sayatan di sisi kiri perut.
Langkah 3 : Hapus paru-paru, lambung, hati, dan usus melalui sayatan.
Langkah 4 : Tekan otak sampai ke lubang hidup sebelah kiri dan goncang sekitar daerahnya untuk mencairkan otak.
Langkah 5 : Putar tubuh atas untuk memungkinkan otak mengalir keluar melalui lubang hidung dan masuk ke dalam wadah mangkuk.
Langkah 6 : Tempatkan hati, paru-paru, lambung, dan usus di kanopik guci untuk diawetkan.
Langkah 7 : Taburkan tubuh dengan garam yang disebut Natron untuk mengeringkannya.
Langkah 8 : Setelah 40 hari, hapus garam Natron tersebut, guna agar tubuh lebih gelap dan lebih tipis.
Langkah 9 : Cuci tubuh dan barang-barang rongga mulut dengan kain resin yang direndam.
Langkah 10: Memanggil penata rias untuk merias wajah almarhum dan memakaikan mayat dengan wig.
Langkah 11: Gosok tubuh dengan minyak wangi.
Langkah 12: Sikat tubuh dengan getah pinus meleleh untuk menutupi daerah vital.
Langkah 13: Letakkan piringan emas dengan mata Horus diatas sayatan tubuh.
Langkah 14: Nyalakan dupa untuk menghembuskan udara murni.
Langkah 15: Bungkus tubuh dalam linen.
Langkah 16: Letakkan jimat di antara lapisan linen.
Langkah 17: Tempatkan jimat vulture di leher almarhum.
Langkah 18: Tempatkan jimat khusus yang disebut heart scarab di jantung atas.
Langkah 19: Letakkan masker di wajah almarhum.
Langkah 20: Label almarhum dengan nama mereka.
Langkah 21: Tempatkan mumi di dalam sarkofagus.
Langkah 22: Tempatkan sarkofagus di dalam kubur.
c)    Obelisk
Adalah monumen batu unik yang terkenal di seluruh usia dan merupakan simbol hidup dari Mesir kuno. Obelisk besar tegak dengan balok batu empat sisi dan berbentuk lonjong diukir untuk mengakhiri bentuk piramida.
 Selama periode Kerajaan Baru (1550-1070 SM), era kerajaan Mesir yang luas, obelisk merupakan elemen arsitektur favorit dari kuil-kuil besar. Para penguasa Kerajaan Baru menggunakan obelisk untuk menghiasai kuil Karnak, dan kuil-kuil lain di Thebes, dan raja-raja Ramessid memiliki obelisk kuno untuk modal baru mereka di Delta. Obelisk memiliki karakteristik Mesir, memiliki kehormatan oleh semua peradaban sejak jatuhnya periode Kerajaan Baru. Beberapa pilar asli tetap ada di beberapa ibukota di Mesir, setidaknya satu dari lambang iman dunia yang membanggakan, yaitu di Sungai Nil.
d)   Piramid
Peninggalan bangunan Mesir yang terkenal adalah piramida dan kuil yang erat kaitannya dengan kehidupan keagamaan. Piramida dibangun untuk tempat pemakaman Firaun. Arsitek terkenal pembuat piramida adalah Imhotep. Bangunan ini biasanya memiliki kamar bawah tanah, pekarangan dan kuil kecil di bagian luarnya.
Piramida terbesar adalah makam raja Cheops, yang tingginya mencapai 137 meter di Gizeh. Selain Cheops, di Gizeh juga terdapat piramida Chefren dan Menkaure. Di Saqqara juga terdapat piramida firaun Joser.
e)    Tulisan
Masyarakat Mesir mengenal bentuk tulisan yang disebut Hieroglyph berbentuk gambar. Tulisan hieroglyph ditemukan di dinding piramida, tugu obelisk maupun daun papirus. Huruf hieroglyph terdiri dari gambar dan lambang berbentuk manusia, hewan dan benda-benda. Setiap lambang memiliki makna. Tulisan ini kemudian berkembang menjadi lebih sederhana yang dikenal dengan tulisan hieratic dan demotis. Huruf-huruf Mesir itu semula menimbulkan teka-teki karena tidak diketahui maknanya. Secara kebetulan ketika Napoleon menyerbu Mesir pada tahun 1799, salah satu anggota pasukannya menemukan batu besar berwarna hitam di daerah Rosetta.
Batu itu kemudian dikenal dengan nama batu Rosetta yang memuat inskripsi dalam tiga bahasa. Dengan terbacanya isi batu Rosetta, terbukalah tabir mengenai pengetahuan Mesir kuno yang kita kenal sampai sekarang. Selain di batu, tulisan Hieroglyph juga ditemukan di kertas yang terbuat dari batang papirus.



f)    Sistem Kalender
Masyarakat Mesir mula-mula membuat kalender bulan berdasarkan siklus peredaran bulan selama 29,5 hari. Karena dianggap kurang tetap, kemudian mereka menetapkan kalender berdasarkan kemunculan bintang anjing (Sirius) yang muncul setiap tahun. Mereka menghitung satu tahun adalah 12 bulan, satu bulan 30 hari dan lamanya setahun adalah 365 hari yaitu 12 x 30 hari lalu ditambahkan 5 hari.
Penghitungan kalender Mesir dengan sistem Solar kemudian diadopsi oleh bangsa Romawi menjadi kalender Romawi dengan sistem Gregorian. Sedangkan bangsa Arab kuno mengambil alih penghitungan sistem lunar menjadi tarik Hijrah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat di simpulkan sebagai berikut :
1.     Bani Isra’il adalah sebuah komunitas keturunan Isra’il (ya‘quubiyah yuusuf) yang cukup besar di Mesir. Pada dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang beradab. Mereka disibukkan dengan pembangunan peradaban. Mereka memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Dan barangkali kelompok-kelompok dari masyarakat Mesir meyakini bahwa Fir'aun bukan tuhan namun karena mereka mendapat tantangan keras dari Fir'aun dan Fir'aun tidak ingin dari kaurnnya kecuali agar mereka menaatinya  sehingga  mereka pun terpaksa menyembunyikan keimanan dalam diri mereka. Jadi tuhan-tuhan berhala banyak sekali di Mesir.
2.     Nabi Musa as adalah seorang bayi yang dilahirkan dikalangan Bani Isra'il yang pada ketika itu dikuasai oleh Raja Fir'aun yang bersikap kejam dan zalim. Nabi Musa as adalah putra Imran bin Qahitsbin ‘Azir bin Lawi bin Yaqub bin Ishaq bin Ibrahim.
3.     Fir‘aun mempunyai isteri yang bernama Asiah binti Muzahim bin Asad bin Ar-Rayyan Al-Walid yang merupakan raja Fir‘aun pada masa Nabi Yusuf as. Para pelayan dari isteri Fir‘aun inilah yang menemukan Nabi Musa as (Musa kecil) yang dihanyutkan oleh ibunya dalam peti yang terkunci, lalu diserahkannya kepada Asiah. Ia lalu membuka peti tersebut dan ketika ia melihat wajah NabiMusa as (Musa kecil) yang bersih dan bersinar dengan cahaya kenabian dan keagungan, ia pun jatuh hati dan ingin mengasuhnya. Namun Fir‘aun menolaknya dan segera akan membunuhnya karena ia takut kalau anak inilah yang akan mengambil alih kekuasaannya, hingga akhirnya Asiah memohon kepada suaminya, Fir‘aun, agar diperkenankan untuk memelihara Nabi Musa as (Musa kecil) sebagai anak mereka karena mereka saat itu belum memiliki keturunan
4.     Nabi Musa as menikah dengan putri Nabi Syu‘aib as setelah permintaan putri Nabi Syu‘aib as kepada ayahnya agar menjadikannya sebagai pekerja bagi mereka, karena Nabi Musa as merupakan sosok yang kuat dan dapat dipercaya
5.     Allah swt memberikan wahyu pertama kali kepada Nabi Musa as dengan cara berbicara langsung kepadanya, sehingga Nabi Musa as mendapat gelar Kalimatau Kalimullah(Allah berbicara padanya). Ada dua orang nabi yang berbicara langsung dengan Allah saat menerima wahyu dan mukjizatNya, yaitu: (1) Nabi Musa as ketika menerima  wahyu dan mukjizatnya dan (2) Nabi Muhammad saw ketika isra’ mi’raj menerima perintah shalat.
6.     Fir’aun pada zaman Nabi Musa adalah raja yang suka menindas dan menganiaya terhadap kaum Bani Isra’il. Agar jangan sampai diturunkan dari seorang raja, banyak anak-anak laki-laki yang masih bayi disembelih, karena khawatir kalau kelak sudah besar akan menjadi musuh yang bisa merobohkan kerajaannya.

B.    Saran
1.          Setelah mengetahui tentang sejarah bani israil, kita semakin faham bahwa betapa pentingnya sebuah peradaban, semakin faham bahwa kekejaman penguasa berakibat fatal terhadap perkembangan masyarakat.
2.          Setelah mengetahui sejarah perjuangan nabi musa as kita bisa mengaflikasikan terhadap perbuatan kita sehari-hari
3.          Adalah keharusan bagi umat Muhammad SAW untuk mengenal apa yang menjadi keistimewaannya dibanding dengan umat-umat terdahulu sebelumnya. Dengan keistimewaan tersebut, akan menjadi paham bagaimana kedudukannya di sisi Allah SWT. Juga menjadi paham bagaimana mengenal Allah. Dengan mengenal Allah, akan membuat kita menjadi manusia yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT dan akan naik derajat menjadi hamba-Nya yang mulia.

DAFTAR PUSTAKA

Badruzaman, Abad, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-ayat Mustadh’afin dengan Pendekatan Keindonesiaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kerjasama P3M STAIN Tulungagung, 2007
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: J-Art, 2004.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982.
Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy, Qashashil Anbiya’, Jakarta : Umul Quro, 2013.
Ibnu Jarir At-Thobari, Tafsir Jami’ul Bayan, Beirut
Jubair Tablig Syahid, Menguak Misteri Nabi Khidir, Cable Book, Klaten. 2012.
Khalil, Abu Syauqi, Atlas Al-Qur’an, Jakarta : Almahira, 2008.
Kementerian Urusan Agama Islam Wakaf, Dakwah, dan Irsyad kerajaan Saudi Arabia, al-Qur’an al-Kariim: wa Tarjamatu Ma’aaniihi ilaa al-Lughot al-Indunisiyyah, Madinah: Mujamma’ Malik Fahd li Thiba’ati al-Mushhaf as-Syarif, 1997.
al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009.
Mushtafa, Ahmad, al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Daar al-Firk , Baerut, 1974
al-Quran dan Tafsirnya, Jakarta, Widya Cahaya, 2012.
Quraish Shihab ,Tafsir Al-Misbah , Jakarta. Lentera Hati, 2002.
Toha Mahsun, Riwayat Nabi-nabi, Surabaya: Ahmad Sa’id bin Nabhan wa Aulaadihi, 1955.





1 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanny, (Jakarta: J-Art, 2004), hal. 164
 2 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanny, (Jakarta: J-Art, 2004), hal. 10.
 3 Hamka, Tafsir Al-Azhar, ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), Juzu’ IX-X, hal.3-5
 3 Khalil, Abu Syauqi, Atlas Al-Qur’an, (Jakarta : Almahira, 2008), hal. 91
 4 Hamka, Tafsir Al-Azhar, ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), Juzu’ IX-X, hal.24.
 5 Muhammad Galib M, Ahl Al-kitab,  makna dan Cakupanya, (Paramadina Jakarta: 1998), hal.47
 6 Zulkarnaini Abdullah, “Yahudi dalam Al-qur’an” Teks Konteks dan diskursus Pluralisme Agama. hal.102-103
7 Abad Badruzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-ayat Mustadh’afin dengan Pendekatan Keindonesiaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kerjasama P3M STAIN Tulungagung, 2007), hal. 66.
8 Abbas Mahmoud al-akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama, (Bulan Bintang, Yogyakarta: 1967), hal.146
9 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanny, (Jakarta: J-Art, 2004), hal. 16
10  Khalil, Abu Syauqi, Atlas Al-Qur’an, (Jakarta : Almahira, 2008), hal. 92
11 Toha Mahsun, Riwayat Nabi-nabi, (Surabaya: Ahmad Sa’id bin Nabhan wa Aulaadihi, 1955), hlm. 72.
12 Ahmad, Shalaby, Perbandingan Agama “Agama Yahudi” terjemah. Drs. A. Wijaya, (Bumi Aksara, Jakarta, 1996), hal. 169
13 Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal.380
14 Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal 381
15 Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Daar al-Firk , Baerut, 1974) , jilid V dan VI, hal.
16 Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy, Qashashil Anbiya’, ( Jakarta : Umul Quro, 2013), hal. 254.
17 Ibnu Jarir At-Thobari, Tafsir Jami’ul Bayan,  Juzu’1, hal. 272
18 Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal. 387.
19 Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal. 389.
20 Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal.393
21 Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal.400.
22 Jubair Tablig Syahid, Menguak Misteri Nabi Khidir, (Cable Book, Klaten. 2012), hal.30
23 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panji Mas, 1984), juz 15, hal. 232
24 Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta, Widya Cahaya, 2012), juz 13-15, hal. 640
25 Quraish Shihab ,Tafsir Al-Misbah (Jakarta. Lentera Hati, 2002), hal. 99
26 Al-Quran dan Tafsirnya (Widya Cahaya), Juz 13-15, hal 641
27 Quraish Shihab ,Tafsir Al-Misbah (Jakarta. Lentera Hati, 2002), hal. 101
28 Quraish Shihab ,Tafsir Al-Misbah (Jakarta. Lentera Hati, 2002), hal. 107 
29  Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah Para Nabi, (Pekalongan: Pustaka Sumayyah 2009), hal.402
30 Khalil, Abu Syauqi, Atlas Al-Qur’an, (Jakarta : Almahira, 2008), hal. 92.
32 M.Y. Sri Wuryaningsih, Modul Sejarah Kelas 1 SMU, hal. 14
33 Tim BSB (Belajar Sambil Bermain), Sekilas Sejarah Dunia, Yayasan Gemah Ripah, 2011, hal. 28
35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Umum Untuk SMP Kelas 1, Jakarta, 1979, hal. 19
36 http://www.crystalinks.com/egyptart.html diakses pada 2 Mei 2013
37 Ebook Egyptian Pharaohs Penn Museum Hal. 12-14
38 Margaret R. Bunson, Ebook: Encyclopedia of Ancient Egypt Revised Edition.  Facts on File, Inc.. hal. 285-286
39 Margaret R. Bunson, Ebook: Encyclopedia of Ancient Egypt Revised Edition.  hal. 34-35
40 M.Y. Sri Wuryaningsih, Modul Sejarah Kelas 1 SMU, hal. 21-22
41 M.Y. Sri Wuryaningsih, Modul Sejarah Kelas 1 SMU, hal. 22-23