Kamis, 21 April 2016

Makalah Sejarah Pemikiran Islam KRITIK DAN SIKAP IBNU TAIMIYYAH DALAM TASAWUF

KRITIK DAN SIKAP IBNU TAIMIYYAH DALAM TASAWUF


Makalah Sejarah Pemikiran Islam

Dosen : Dr. Abu Khair, MA

Disusun Oleh :
ASEP SUPRIATNA

BAB I
PENDAHULUAN

1.     Latar belakang
Pada akhir abad ketujuh hijriyah, blantika pemikiran Islam diramaikan dengan kemunculan Syekh Ibnu Taimiyyah (w.728 H) yang hadir dengan pendapat-pendapat penting dalam ranah tasawuf dan sufisme yang mengusung kritikan keras terhadap beberapa tokoh sufi di antaranya Ibnu Arabi atau para tokoh sufi yang menyimpang.
Di samping terkenal sebagai pengkeritik kaum sufi, ternyata Ibnu Taimiyyah juga diam-diam mengakui kebenaran beberapa isu penting yang diusung kaum sufi, misalnya, pendapat mereka mengenai ilham, pengkategorian ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) sebagai salah satu jenis pendidikan ilahiah, ujaran mereka mengenai zuhud, sabar, dan cinta ilahiah, dan permasalahan-permasalahan lain yang menjadi fokus kajian mereka dalam ilmu tasawuf.[1]
Pada makalah ini, kami lebih memfokuskan diri pada pembahasan dua aspek yang banyak dikritik Ibnu Taimiyyah. Pertama, tasawuf dan beberapa tokoh-tokohnya sebagai aspek yang ditentang. Kedua, isu-isu penting sufisme yang diterima kebenarannya oleh Ibnu Taimiyyah sebagai aspek yang diterima.
Sebenarnya, pembahasan menyeluruh mengenai hal ini bukanlah pesoalan mudah sebab Ibnu Taimiyyah sendiri telah menceburkan sebagian kalangan dalam kebingungan dan kegamangan lantaran tulisan-tulisannya mengenai sufisme yang terkesan ambigu (tidak jelas), sampai-sampai mereka salah menduga bahwa ia menolak tasawuf atau memusuhi kaum sufi secara umum. Padahal kenyataanya tidak demikian. Fakta ini akan terungkap jelas setelah menganalisis dan mengevaluasi kritik-kritik yang dilancarkan Ibnu Taimiyyah terhadap tasawuf dan kaum sufi.
Sehingga kami tertarik untuk mengkaji dan menganalisa pemikiran Ibnu Taimiyyah yang terbilang nyeleneh. Senghingga berdasarkan hal tersebut pada makalah ini kami memberi judul Kritik Dan Sikap Ibnu Taimiyyah dalam Tasawuf.
2.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.     Siapakah Ibnu Taimiyyah?
2.     Bagaimanakah Kritikan Ibnu Taimiyyah Terhadap Tasawuf?
3.     Bagaimanakah Sikap Ibnu Taimiyyah dalam Tasawuf?


BAB II
PEMBAHASAH

A.    Biografi dan Sejarah Singkat Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyyah adalah Taqiyyuddin  Abu al-‘Abbas  Ahmad ibn al-‘Allaamah Syihaab al-Diin Abi al-Mahaasin Abd al-Haliim ibn al-Syaikh al-Imam syaikh al-Islam Majd al-Diin Abi al-Barakaat Abd al-Salaam ibn Abi Muhammad Abdullah ibn Abi al-Qosim al-Khudhr ibn Ali ibn Abdillah ibn Taimiyah al-Haraaniy.[2] Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib dan hakim di kotanya.[3]
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.[4] Para ulama yang merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iti hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antroporpisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[5]
B.    Kritikan Ibnu Taimiyyah Terhadap Tasawuf
1.     Kritikan Ibnu Taimiyyah Terhadap Kebiasaan Khalwat Kaum Sufi
Sudah maklum adanya bahwa kaum sufi cenderung pada khalwat atau ‘uzlah (menyepi dan mengucilkan diri) dalam beberapa kondisi agar bisa berkonsentrasi menghadap Allah SWT dengan lebih banyak beribadah dan bisa menyibukan diri dengan dzikir dan pikir yang berkesinambungan. Dalam hal ini, mereka ingin meneladani jejak Rasulullah SAW yang menurut sejumlah riwayat sering melakukan tahannuts (menyepi) di gua Hira sebelum diangkat menjadi Rasul agar lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah atau berkomunikasi dengan al-ufuq al-a’la.[6]
Imam Mislim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah RA, ia bercerita: “Wahyu pertama yang turun pada Rasulullah SAW berupa mimpi yang benar dalam tidur beliau, dan tidaklah beliau mendapati mimpi tersebut melainkan seperti keheningan fajar subuh. Kemudian beliau lebih suka menyepi. Beliau biasanya menyepi di Gua Hira. Di sana beliau menghabiskan beberapa malam untuk beribadah kepada Allah sebelum kembali kerumah. Untuk tujuan tersebut, beliau membawa sedikit perbekalan. (Setelah beberapa hari berada disana) beliau pulang kepada Khadijah mengambil perbekalan untuk beberapa malam. (Prilaku ini terus beliau jalani) hingga tiba-tiba diberi wahyu saat tengah berada di Gua Hira.”[7]
Hadits Rasulullah SAW ini di sikapi oleh kalangan ahli ilmu yang objektif dengan sikap objektif tanpa menyulut ke-musykil-an di dalamnya, bahkan mereka mendukung prilaku orang-orang shaleh yang cenderung menyukai khalwat sebagai prilaku hamba-hamba terdekat Allah SWT yang lebih memilih khalwat (menyepi) daripada berbaur dengan khalayak manusia karena menurut mereka khalwat mampu memfokuskan hati untuk berdzikir kepada Allah dan membantu para ahli ibadah (nassak) untuk memperbanyak ibadah.
An-Nawawi mengatakan : “Khalwat -menyepi- merupakan prilaku orang-orang shaleh dan hamba-hamba ‘arif billah. Abu Sualaiman al-Khathabi mengatakan : Rasulullah SAW menggemari ‘uzlah karena itu membantu proses tafakkur. Dengan menyepi, beliau bisa memutuskan diri dari hal-hal yang menjadi kebiasaan manusia dan (karenanya) bisa memperoleh kekhusyukan hati.”[8]
Meski tidak ada seorang pun tokoh sufi yang menyatakan ke-mustahaban-an berkhalwat bagi para murid, lebih spesifik lagi di Gua Hira, Ibnu Taimiyyah tetap melancarkan kritik terhadap mereka karena mereka menggunakan hadits diatas sebagai dasar kecintaan berkhalwat yang mereka cenderungi.
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Terkait khalwat, sebagian kaum sufi berargumen dengan prilaku tahannuts Nabi Muhammad SAW di Gua Hira sebelum turunnya wahyu. Ini keliru, sebab jika memang apa  dilakukan Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian, tentu kita sudah diperintahkan untuk mengikutinya dalam hal tersebut, namun jika tidak, maka hal itu pun tidak boleh dilakukan. Nyatanya, sejak mendapat wahyu (pertama) dari Allah SWT, beliau tidak pernah lagi naik ke Gua Hira, begitu pula para khulafa‘urrasidun. Sebelum hijrah, beliau tinggal di Makkah selama belasan tahun, kemudian (pasca hijrah) beliau sempat masuk kota Makkah untuk menunaikan umrah qadha’, lalu pada waktu Fath Makkah beliau juga tinggal disana selama empat malam. Selama itu, beliau sama sekali tidak pergi ke Gua Hira, padahal dekat letaknya. Hal itu dikarenakan pergi ke Gua Hira merupakan tradisi yang biasa dilakukan pada masa Jahiliyah.”[9]
Tidak seorang pun yang berselisih dengan Ibnu Taimiyyah dalam hal bahwasannya kehidupan Rasulullah SAW sebelum kerasulan bukanlah sumber penetapannya syariat. Akan tetapi, bukankah semua sepakat bahwa Allah SWT telah memilih dan mempersiapkan beliau sejak awal untuk mengemban amanat kerasulan?! Bukankah sudah masyhur pula bahwa setelah diangkat menjadi Rasul sekalipun beliau juga masih suka berkhalwat dengan mengucilkan diri dari istri-istri beliau, agar bisa berkonsentrasi menghadap Allah SWT dengan lebih banyak ibadah, terutama pada sepuluh hari terakhir bual Ramadhan?! Bukankah i’tikaf secara umum juga di sunahkan dalam Islam?!
Konsepsi-konsepsi di atas, rupanya juga tidak samar lagi bagi Ibnu Taimiyyah. Karena itu, kita lihat ia tidak memungkiri legalitas khalwat secara umum. Permasalahan pokoknya adalah ia hanya menolak pemakaian hadits di atas sebagai hujjah atas prilaku khalwat kaum sufi yang kemudian ia jadikan sasaran tembak kritiknya. Menurutnya, kritik yang ia lancarkan merupakan upaya memerangi praktik bid’ah yang diperagakan sebagian oknum pelaku khalwat yang mengkonsentrasikan hati kepada Allah SWT dengan membatasi diri pada dzikir tertentu tanpa yang lain, dan tanpa menyibukan diri dengan membaca kitab pada waktu khalwat.
Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Kemudian diantara pelaku khalwat ada yang masih tetap berpegang teuh pada jenis ibadah yang disyariatkan, antara lain shalat, puasa, membaca al-Quran, dan dzikir. Namun, kebanyakan di antara mereka keluar dari rel syara’ dengan menjalankan aneka ragam amalan yang tidak disyariatkan, misalnya, tarekat Abu Hamid al-Ghazali dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka memerintahkan pelaku khalwat agar tidak menambah (memperbanyak) amalan fardhu, baik membaca al-Quran, hadits nabawi, maupun yang lain, akan tetapi mereka menyuruhnya memperbanyak dzikir, kemudian mengucapkan apa yang di ucapkan Abu Hamid (dengan rincian:) dzikir kaum awam adalah la ilaha illallah, dzikir kaum khash adalah Allah Allah, sementara dzikir kaum khawashil khawash adalah huwa huwa. Dzikir dengan isim mufrad, baik yang berupa isim zhahir (yakni Allah Allah) aupun yang berupa isim dhamir (yakni huwa huwa) merupakan praktik bid’ah dalam syara’ dan keliru dari segi ucapan dan tata bahasa, sebab asma Allah tersebut (ansich) bukanlah kalam sehingga tidak menunjukan keimanan maupun kekufuran.”[10]
Kritik Ibnu Taimiyyah ini secara zhahir ditunjukan pada apa yang terjadi dalam beberap kasus prilaku khalwat, berupa pengesampan ingan ilmu (belajar) demi berkonsentrasi dzikir dan ibadah. Padahal kaum sejati seperti al-Ghazali dan lainnya sangat apresiatif terhadap ilmu dan menganggapnya sebagai bagian integral dari sarana pendekat diri kepada Allah SWT, akan tetapi pada beberapa waktu mereka memilih lebih menyibukan diri dengan dzikir tanpa aktivitas yang lain demi lebih menguatkan hubungan mereka dengan Allah SWT. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang patut dipersalahkan, sebab tujuan dari menuntut ilmu adalah amal.
Terkait dengan wacana yang diusung Ibnu Taimiyyah bahwa dzikir dengan lafal al-jalalah “Allah”, baik dalam bentuk isim zhahir maupun dhamir adalah bid’ah syara’, ini merupakan pendapat yang terlampau ekstrem sebab Allah SWT berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.” (QS. al-Ahzab : 41). Dzikir kepada Allah bisa dilakukan dengan mengulang-ulangi kalimat tauhid “la ilaha illallah” dengan memperbanyak menyebut asma’-asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya yang menunjukan kesempurnaan, dan bisa juga dengan menyebut lafal al-jalalah “Allah”. Semua ini merupakan jenis dzikir yang dianjurkan dalam syara’, dan paling afdhal sebagaimana yang dirilis dalam berbagai atsari adalah berdzikir dengan redaksi : “la ilaha illallah”.[11] Dalam hal ini, tidak ada seorangpun tokkoh sufi paripurna yang berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyyah, baik al-Ghazali maupun yang lain.
2.     Kritik Ibnu Taimiyyah dalam Masalah Ilham
Ibnu Taimiyyah mengkritik sebagian kaum sufi yang mencampuradukan ilham  dengan yang lain. Ia mengatakan:
 “Jenis ini (ilham) memang nyata adanya, namun banyak pula yang baru sekedar dugaan, dan banyak kalangan diantara mereka (kaum sufi) yang tidak bisa membedakan ilham asli dengan ilham palsu. Ada diantara mereka misalnya, yang mendengar sebuah seruan (khithab) atau bertemu dengan orang yang memerintahkan sesuatu padahal seruan tersebut berasal dari setan. Ada lagi yang bisa terbang di udara atau disuguhi makanan, minuman, atau nafkah yang dating sendiri padanya, dan menyangka sebagai karamah. Fenomena ini dan sejenisnya banyak sekali terjadi.”[12]
Kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap sebagian kalangan yang mencampur adukan ilham dengan yang lain ini meskipun lebih dekat kepada kesan generalisasi, namun ia sama sekali tidak bermaksud menafikan ilham-ilham shahih yang diperoleh kaum sufi sejati. Dari baris awal pernyataanya di atas, ia mengatakan bahwa ilham merupakan fakta yang tidak bisa di pungkiri. Ia hanya ingin menunjukan keharusan memilih dam memilah antara ilham yang shahih dan apa yang dikhayalkan oleh sebagian kalangan sebagai ilham (atau bisa disebut pseudo-ilham) padahal sama sekali bukan ilham karenatidak sesuai dengan syara’ dan kenyataan.
Ibnu Taimiyyah juga mengkritik sebagian sufi yang merasa cukup dengan ilham, lalu tidak mau mengkaji ilmu normatif. Ia mengatakan: “Kalian mengambil ilmu kalian yang mati dari yang mati, sementara kami mengambil ilmu dari sang maha hidup yang tak mati.” Ia lantas menyebutkan bahwa sunnah merupakan kebenaran, selama diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tsiqah. Sedangkan apa yang di klaim oleh kalangan ini sebagai mukasyafat merupakan suatu yang amsih diragukan sehingga tidak seyogianya dipercayai, apalagi sampai berpaling dari mempelajari ilmu normatif (diantaranya sunnah) demi mengejar kasyaf.[13]
Sebenarnya, tidak seorang pun kaum sufi paripurna yang mengabaikan ilmu normatif (an-naql). Mereka justru menyerukan untuk berpegang teguh pada sunnah secara lahir batin. Puncaknya, mereka memahkotai ilmu-ilmu normatif mereka dengan menghadapkan seluruh raa dan nurani mereka kepada Allah SWT sehingga tersingkaplah dihadapan mereka hakikat-hakikat yang tidak diketahui oleh selain mereka yang sibuk dengan normativitas dan rasionalitas.
3.     Kritik Ibnu Taimiyyah mengenai beberapa prilaku Maqamat dan Ahwal
Ibnu Taimiyyah mengkritik sebagian kelompok kaum sufi yang berlebih-lebihan dalam zuhud dan menolak rasionalisme pemikiran (an-nazhr al-‘aqli), lalu menyamakan mereka dengan kaum Nashrani. Ia mengatakan: “Kaum sufi dan sejenisnya lebih dekat dengan kaum Nashrani yang menjalankan peribadatan, zuhud, dan akhlak tanpa pengetahuan maupun wawasan sehingga sesat.”
Tampaknya, persamaan yang disebutkan Ibnu Taimiyyah di atas hanya ditujukan khusus bagi kaum pseudo-sufi yang bodoh. Oleh karena itu, ia lantas mengutif yang mengindikasikan hal tersebut “Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, ia berkata : Barangsiapa diantara ahli-ahli ibadah kita yang keliru dalam beribadah maka ia memiliki kemiripan dengan kaum Nashrani.”
Untuk selamat dari keterjerumusan ke dalam hal-hal yang bertentangan syari’at, kaum sufi yang masih bodoh harus berkomitmen menapaki jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Kalangan ahli zuhud mengagung-agungkan iradah, murid, dan jalan ahl al-iradah. Mereka melandaskan prilaku mereka kepada iradah. Ini memang seharusnya bagi penganut jalan yang lurus, dan iniharus sesuai dengan apa yang di ajarkan Rasulullah SAW sebab iman adalah manisfetasi ucapan, perbuatan, dan berkomitmen mengikuti sunnah. Kaum sufi lebih menitik beratkan pada jenis iradah, yakni kata hati dan mencela hawa (hasrat diri). Namun, banyak di antara mereka yang tidak bisa membedakan antara iradah syar’i yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan iradah yang bersifat bid’ah.”[14]
Dari statement ini terlihat jelas bahwa kritik Ibnu Taimiyyah terhadap kaum sufi pada fenomena berlebih-lebihan yang dilakukan oleh sebagian sufi dalam hal kezuhudan atau menyimpang sebagian mereka dari rel-rel syariat.
4.     Kritik Ibnu Taimiyyah dalam masalah-masalah lain
Ibnu Taimiyyah mengkritik kalangan sufi ekstrem yang terlalu mengagungkan para syaikh dan wali semasa hidup mereka dengan menganggap mereka sebagai orang-orang suci yang terpelihara dari perbuatan dosa. Ia mengatakan:
“Syarat menjadi wali Allah bukanlah bersih-bersihnya dari tindak kesalahan yang masih diampuni, atau meninggalkan dosa-dosa kecil secara total, bahkan mereka juga tidak dipersyariatkan bersih-bersihnya dari dosa besar. Namun, pakem ini di langgar oleh kalangan Quaisi-Rafidhah yang terlalu berlebihan dalam mengagung syaikh-syaikh tarekat yang meyakini mereka sebagai sosok wali. Mereka menyatakan bahwa wali berstatus mahfuzh (terpelihara) sementara nabi berstatus ma’shum. Memang kebanyakan di antara mereka tidak menyatakan hal tersebut secara lisan, akan tetapi tindakan mereka mengindikasikan sebuah keyakinan bahwa seorang syaikh atau wali tidak pernah bebuat salah maupun dosa. Semua ini merupakan kesesatan-kesesatan ala Jahiliyyah.”[15]
Ibnu Taimiyyah juga mengaskan peringatanya agar tidak berlebih-lebihan mengagungkan sebagian wali karena hal itu bisa mengakibatkan dampak-dampak genting yang bertentangan dengan akidah yang lurus dalam Islam. Ia mengatakan:
“Praktik ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling jelas dipertontonkan oleh kalangan Nashrani dan Syiah Rafidhah. Namun, dalam perkembangannya muncul kelompok ketiga dari kalangan ahli-ahli ibadah dan zuhud yang belebih-lebihan dalam mengsyakralkan syaikh-syaikh mereka sehingga terjebak syirik, menyekutukan Allah SWT dengan mereka.”[16]
Pernyataan Ibnu Taimiyyah mengenai kaum ektstrem sufi ini dimaksudkannya untuk meruntuhkan aura sakralisasi yang menyelubungi sebagian tokoh yang dianggap wali sehingga menjebak para pengikutnya pada praktik ghuluw yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang tentu saja bertentangan dengan akidah tauhid dalam Islam. Tujuan IbnuTaimiyyah ini benar, dan tidak seorang pun kaum sufi sejati pun mengingkarinya. Sebab, meskipun mereka gemar mencintai para wali, namun mereka tetap meyakini bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata dan ke-ma’shum-an (keterjagaan dari segala kesalahan dan dosa) hanya milik para nabi dan rasul, sedangkan para manusia selain mereka, bisa salah dan benar.[17] Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ بَنِى ادَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Setiap bani adam (anak manusia) pasti pernah berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah)
Dapat kita pahami, meskipun Ibnu Taimiyyah benar adanya terkait dengan komitmennya untuk memurnikan tauhid semurni-murninya, namun ia terlalu berlebihan dalam beberapa kritiknya, dan produk-produk hkum yang dikeluarkannya pun terlalu ektrem (mutasyaddid).
C.    Penerimaan Ibnu Taimiyyah Terhadap Tasawuf Dalam Beberapa Isu Penting Sufisme
Aspek kedua yang menunjukan tingkat penerimaan Ibnu Taimiyyah terhadap tasawuf bisa diidentifikasi dari penelaahan terhadap sejumlah pernyataan yang mengimplisitkan pengakuannya terhadap isu-isu penting yang memiliki kaitan erat dengan hakikat tasawuf sebagaimana terpapar di bawah ini.
1.     Apresiasi Ibnu Taimiyyah Terhadap Maqamat dan Hal
Apresiasi Ibnu Taimiyyah terhadap prilaku-prilaku Maqamat dan Hal, seperti sabar, syukur, tawakal, takut dan harap, cinta Allah, dan prilaku-prilaku lain yang identik dengan kaum sufi terlihat dari pengakuannya terhadap madlulat pengertian prilaku-prilaku tersebut yang juga yang juga digalakan oleh al-Quran maupun Sunnah. Hal itu antara lain terlihat ketika ia menjelaskan rambu-rambu jalan menuju Allah sebagaiberikut:
“Lafal-lafal yang di sampaikan al-Quran dan sunnah harus kita telusuri pengertian-pengertian yang ditunjukannya, misalnya: lafal iman, birr (kebajikan), taqwa (ketakwaan), ‘adl (keadilan), ihsan (perbuatan baik), shabr (kesabaran), syukr (kesykuran), tawakkal (keberserahan diri), raja’ (pengharapan), al-hubb fillah (cinta demi Allah), tha’ah (taat kepada Allah dan Rasul), serta lafal-lafal lainnya yang mengandung pesan untuk melakukan hal-hal yang disukai Allah dan Rasul-Nya, baik amalan hati maupun amalan fisik sebab perkara-perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya ini merupakan jalan pengantar kepada Allah dan Rasulnya. Jadi setiap muslim harus memperhatikan apa-apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, kemudian menjalankannya, kemudian menjalankannya, dan apa saja yang dilarang Allah dan Rasul-Nya untuk kemudian meninggalkannya. Inilah jalan Allah.”[18]
Menurut Ibnu Taimiyyah, zuhud yang merupakan pangkal jalan menuju Allah SWT dan Maqamat tasawuf terpenting tidak serta merta menolak kekayaan atau keterikatan pada kebutuhan-kebutuhan hidup yang bersifat primer, sebab dalam pemahaman yang benar, zuhud adalah meninggalkan kemewahan hidup dan menghindari segala hal yang bisa memalingkan diri dari Allah. Sebagaimana arahan yang disampaikan oleh kaum sufi sejati, Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Zuhud bisa bersanding bersama kekayaan, dan bisa pula bersama kefakiran. Ada di antara nabi dan para tokoh terdahulu (al-sabiqun al-awwaun) yang menjadi zahid ditengah kekayaan yang berlimpah. Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat untuk hari kemudian (akhirat). Meninggalkan segala sesuatu yang bisa membantu seorang hamba dalam menjalankan ketaatan kepada Allah bukanlah termasuk zuhud yang disyariatkan, akan tetapi yang disyariatkan adalah meninggalkan kemewahan hidup yang bisa menyibukan diri dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”[19]
Zuhud syar’i menurut Ibnu Taimiyyah juga mendorong pelakunya untuk tetap bekerja mencari rezeki dan memperbanyak infak untuk kepentingan kebaikan. Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Kalangan ahli ilmu mengatakan bahwa manusia yang paling zuhud setelah Rasulullah SAW (dalam artian zuhud syar’i) adalah Abu Bakar dan Umar. Hal itu dikarnakan Abu Bakar memiliki harta berlimpah yang kemudian ia infakan seluruhnya di jalan Allah, dan setelah menjabat sebagai khalifah ia tetap pergi ke pasar untuk berdagang dan bekerja mengais penghasilan.”[20]
Mahabbah lillah (cinta Allah) yang merupakan ahwal terpenting dalam sufisme, menurut Ibnu Taimiyyah juga merupakan sasaran yang harus dituju (maqshud li dzatihi). Implikasinya adalah ketaatan kepada Allah, dan cara mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan beribadah dan beribadah, bukan untuk meraih kenikmatan surga, melainkan untuk meraih cinta-Nya semana sebagaimana  ungkapan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam salah satu syairnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Kaum salaf, para imam, serta segenap ahlussunnah dan ahlullah sepakat bahwa Allah SWT mencintai dan dicintai. Barangsiapa berpendapat bahwa yang dimaksud dengan cinta Allah adalah kecintaan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka ia terjebak pada kontadiksi, sebab kecintaan untuk mendekatkan diri kepada-Nya merupakan konsekuensi lanjut dari kecintaan kepada-Nya, sehingga barngsiapa mencintai Allah maka ia pun suka mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun orang yang melaksanakan perintah-Nya dengan tendensi lain, meka pada hakikatnya ia mencintai tendensi tersebut yang mendorongnya untuk beramal dan menjadikan ketaatan kepada Allah SWT sebagai kendaraan.”[21]
Terkait dengan tingkah merasa cukup (al-ghina) dengan menyaksikan Allah dari penyaksian selain Allah yang banyak dibincangkan kaum sufi, Ibnu Taimiyyah tampaknya cukup toleran sebab dalam kondisi kebatinan demikianlah Allah SWT hadir dan kuasa-Nya mendominasi hati sehingga saat menyaksikan al-haqq mereka tidak lagi menoleh-noleh pada dirinya maupun pada hal-hal baru selain Dia.
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Adapun yang kedua (yakni percukupan diri dari memandang selain-Nya) merupakan hal yang di alami banyak salik, sebagaimana hikayat ihwal Abu Yazid dan tokoh-tokoh sufi sekalibernya. Ia adalah maqam ishtilam, yaitu lebur dengan Maujud-nya dari wujudnya, dengan yang disembahnya sari sembahyangnya, dengan yang disaksikannya dari kesaksiannya, dengan dzikirnya dari dzikirnya sehingga fanalah yang sebelumnya tiada dan kekallah yang senantiasa ada. Syahdan, ada seorang laki-laki mencintai seseorang, lalu orang yang dicintainya itu menceburkan diri kedalam air, dan ia pun ikut menceburkan diri. Ia pun ditanya,: mengapa kamu ikut-ikutan menceburkan diri?” Ia menjawab, “Aku lebur denganmu dari diriku sehingga aku piker kamu adalah aku.” Ini baru sebatas antar makhluk, lalu bagaimana jika hatinya menyaksikan wujud al-Khaliq. Ini merupakan persoalan yang dihadapi kalangan salik. Ada yang menjadikannya sebagai suluk, ada yang menjadikannya sebagai tujuan suluk sehingga menurut mereka tujuan suluk adalah lebur dalam tauhid rubbuiyyah.”[22]
Mencukupkan diri dengan Allah SWT dalam artian melepaskan diri dari jerat nafsu tercela yang digaungkan kaum sufi, juga menjadi agenda Ibnu Taimiyyah. Semua ini menunjukan bahwa Ibnu Taimiyyah memberi apresiasi pada maqamat dan ahwal sufi dalam bingkai yang benar, yaitu komitmen memelihara syariat.
2.     Anjuran Ibnu Taimiyyah untuk memperbanyak ibadah
Ibnu taimiyyah menganjurkan pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah sebanyak mungkin (sebagaimana halnya kaum sufi) selama masih dalam batas-batas yang disyariatkan dalam agama dan bukan bid’ah yang dibuat-buat oleh sebagian kalangan.
Dalam hal ini ibnu taimiyyah mengatakan: ”Amalan yang disyariatkan dari ibadah-ibadah sunnah adalah amalan-amalan yang bisa mendekatkan pelakunya kepada Allah SWT sebagai jalan menuju Allah, antara lain berbuat kebajikan, ketaatan, amal-amal baik, dan ma’ruf. Ia merupakan jalan yang dititi kaum salikin dan jalur yang diikuti para qashidin dan abidin (ahli ibadah). Dan inilah yang ditempuh oleh setiap orang yang menginginkan Allah dan menjalani prilaku zuhud, ibaadah, dan hal-hal yang disebut dengan faqr, tasawuf, dan jenisnya.”[23]
Sebagai dasar pelaksanaan ibdah-ibadah sunah yang disyariatkan ini Ibnu Taimiyyah mengutif sejumlah hadits shahih yang secara garis besar mendorong moderatisme dalam beribadah. Ia mengatakan:
“Tidak ada jalan menuju Allah selain mengikuti Muhammad SAW, ibdah-ibadah yang beliau perintahkan, baik yang berstatus wajib maupun mustahab, merupakan ibadah yang disyariatkan, disamping ibadah yang beliau anjurkan dan beliau sebutkan pahala dan keutamaannya. Karena itu, tidak diperbolehkan menyatakan ibadah ini mustahab atau disyariatkan kecuali dengan dalil syar’i. syariat tidak ditetapkan berdasarkan hadits dha’if, namun jika memang ada riwayat yang menyatakan bahwa satu amal mustahab dengan dasar dalil syar’i dan diriwayatkan memiliki banyak keutamaan dengan sanad-sanad yang lemah maka ia boleh diriwayatkan selama memang tidak diketahui kepalsuan hadits tersebut. Inilah pendapat yang dipegang imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lain yang member keringanan didalamnya dan dalam periwayatan hadits-hadist fadha’il. Namun, mereka jauh dari tindakan menetapkan suatu amal sebagai amalan mustahab dan disyariatkan dengan hanya berlandaskan hadits dhaif.” [24]
Dari paparan diatas jelas bahwa Ibnu Taimiyyah menganjurkan ibadah-ibadah sunnah (nawafil) dalam batas-batas kewajaran dan kemoderatan, sebagaimana yang diriwayatkan Sang Penetap Syariat yang Agung.
3.     Penerimaan Kebenaran Fakta Perolehan Kasyf dan Ilham
Ibnu Taimiyyah menerima secara aksiomatik fakta perolehan kasyf dan ilham oleh para sufi sejati, bahkan ia menegaskan kecenderungan ini sambil menguatkannya dengan dalil-dalil beupa atsar-atsar kenabian dan khabar-khabar para sahabat. Ia mengatakan:
“Kaum sufi sejati dikarunia ilham-ilham yang shahih sebagaimana isyarat Nabi SAW dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Beliau bersabda: “ sungguh didalam umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang diberi ilham, dan jika memang ada satu ada ditengah umatku maka ia pastilah Umar.” Umar sendiri mengatakan: “Mendekatlah mulut orang-orang taat, dan dengarkan apa yang mereka katakan, sesungguhnya ia adalah manifestasi perkara-perkara sejati mereka. Diriwayatkan juga dalam Sunan at-Tirmidzi dari Abu Syaid dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Hati-hatilah dengan firasat seorang mukmin sebab ia melihat dengan cahaya Allah.” Kemudian beliau membaca ayat: “Sesungguhnya pada yang demikian itu banar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr (15) : 75). (Mengomentari hadits ini) seoang tokoh sahabat mengatakan: “Demi Allah, menurut dugaanku ia benar-benar merupakan kebenaran yang dimasukan Allah SWT kedalam hati dan pendengaran mereka. Disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari dari Abu hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang aku jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang jadikan ia untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan.” Konon, Umar mendengar dengan kebenaran dan melihat dengannya. Mereka pun mengatakan bahwa ketenangan terpatri dilisan Umar RA.”[25]
Ibnu Taimiyyah juga mendekatkan jurang perbedaan antara kaum fuqaha dan sufi. Ia mengungkapkan bahwa konsep mashalih mursalah (yang merupakan salah satu metode penemuan hokum dam syara’) tidak hanya terbatas pada prinsip pemeliharaan kepentingan duniawi manusia seperti memelihara diri dan harta benda sebagaimana asumsi kaum fuqaha’, akan tetapi ia menckup unsure jaminan perlindungan terhadap urusan-urusan akhirat kaum muslim yang dirasakan kalangan sufi berupa pengetahuan-pengetahuan makrifat yang mereka peroleh melalui jalan ilham.[26]
Dari paparan diatas bisa kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyyah tetap mengakui adanya kasyf dan ilham bagi kaum sufi sejati (ash-shadiqin).
Demikianlah aspek kedua dari Ibnu Taimiyyah terhadap tasawuf yang memperlihatkan kepada kita akan tingkat penerimaan Ibnu Taimiyyah terhadap tasawuf yang diindikasikan dengan sikap afirmatifnya terhadap beberapa isu penting yang identik dengan kaum sufi sejati.


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah di jelaskan di atas, maka dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.      
2.     Kritikan dan Pernyataan Ibnu Taimiyyah mengenai kaum ektstrem sufi, dimaksudkannya untuk meruntuhkan aura sakralisasi yang menyelubungi sebagian tokoh yang dianggap wali sehingga menjebak para pengikutnya pada praktik ghuluw yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang tentu saja bertentangan dengan akidah tauhid dalam Islam. Tujuan IbnuTaimiyyah ini benar, dan tidak seorang pun kaum sufi sejati pun mengingkarinya. Sebab, meskipun mereka gemar mencintai para wali, namun mereka tetap meyakini bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata dan ke-ma’shum-an (keterjagaan dari segala kesalahan dan dosa) hanya milik para nabi dan rasul, sedangkan para manusia selain mereka, bisa salah dan benar.
3.     Ibnu Taimiyyah di samping terkenal sebagai pengkeritik kaum sufi, ternyata Ibnu Taimiyyah juga mengakui kebenaran beberapa isu penting yang diusung kaum sufi, misalnya, pendapat mereka mengenai ilham, pengkategorian ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) sebagai salah satu jenis pendidikan ilahiah, ujaran mereka mengenai zuhud, sabar, dan cinta ilahiah, dan permasalahan-permasalahan lain yang menjadi fokus kajian mereka dalam ilmu tasawuf.




DAFTAR PUSTAKA
Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995
Fauqi Hajjaj, Muhammad, Taswuf  Islam  dan Akhlak, Jakarta, Amzah,  2011
Ibrahim Zaki Khurshid, Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah:, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969
Muslim , Abu Husain bin al Hajjaj , Shohih Muslim, Jilid I, Beirut: Dar al Fikr, t.t.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
an-Nawawi, Muhammad, Yahya bin Syaraf, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Beirut, dar al-fikr, t.th
Taimiyyah Ibnu, Majmu’ah Rasail al-Kubra, Mesir , Al-Manar, 1333 H
                                             , Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Mesir, Al-Manar, 1341 H
                                             , Manhaj al-Sunnah, Al-Manar, Mesir 1341 H




[1] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak, Jakarta, Amzah, 2011, hal.175
   [2] Al-Mahmud, Abd Al-Rahman ibn Shalih ibn Shalih Mauqif ibn Taimiyah min Al-Asyaa’irah, Maktabah Al-Rusyd, Riyadh Saudi Arabia, Cet. 1 1995, hal. 151
   [3] Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995, hal. 41
   [4] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h.130
   [5] Ibrahim Zaki Khurshid, Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah:, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969
[6] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak,  hal.176
[7] Muslim , Abu Husain bin al-Hajjaj, Shohih Muslim, Jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, t.t., Jilid II, hal. 197
[8] Muhammad, Yahya bin Syaraf an-Nawawi,, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Beirut, dar al-fikr, t.th, hal.198
[9] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, (Al-Manar, Mesir 1341 H), Juz V, hal.84
[10] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, hal.86
[11] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak,  hal.180
[12] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz II, hal.143
[13] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak,  hal.185
[14] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail al-Kubra, (Al-Manar, Mesir 1333 H), Juz I, hal.77-78
[15] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail al-Kubra, Juz I, hal.43-44
[16] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail al-Kubra, Juz I, hal.133
[17] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak,  hal.192
[18] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, (Al-Manar, Mesir 1341 H), Juz I, hal.218-219
[19] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, hal.220
[20] Ibnu Taimiyyah, Manhaj al-Sunnah, (Al-Manar, Mesir 1341 H), Juz IV, hal.129
[21] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz V, hal.159-160
[22] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak,  hal.198
[23] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz V, hal.83
[24] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz V, hal.95
[25] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz I, hal.51-52
[26] Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf  Islam  dan Akhlak,  hal.203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar