Makalah Sejarah Pemikiran Islam
Dosen : Dr. Abu Khair, MA
Disusun Oleh :
ASEP SUPRIATNA
ASEP SUPRIATNA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Pada akhir abad ketujuh hijriyah, blantika pemikiran Islam
diramaikan dengan kemunculan Syekh Ibnu Taimiyyah (w.728 H) yang hadir dengan
pendapat-pendapat penting dalam ranah tasawuf dan sufisme yang mengusung
kritikan keras terhadap beberapa tokoh sufi di antaranya Ibnu Arabi atau para
tokoh sufi yang menyimpang.
Di samping terkenal sebagai pengkeritik kaum sufi, ternyata Ibnu
Taimiyyah juga diam-diam mengakui kebenaran beberapa isu penting yang diusung
kaum sufi, misalnya, pendapat mereka mengenai ilham, pengkategorian ru’ya
shadiqah (mimpi yang benar) sebagai salah satu jenis pendidikan ilahiah,
ujaran mereka mengenai zuhud, sabar, dan cinta ilahiah, dan
permasalahan-permasalahan lain yang menjadi fokus kajian mereka dalam ilmu
tasawuf.[1]
Pada makalah ini, kami lebih memfokuskan diri pada pembahasan dua
aspek yang banyak dikritik Ibnu Taimiyyah. Pertama, tasawuf dan beberapa
tokoh-tokohnya sebagai aspek yang ditentang. Kedua, isu-isu penting
sufisme yang diterima kebenarannya oleh Ibnu Taimiyyah sebagai aspek yang
diterima.
Sebenarnya, pembahasan menyeluruh mengenai hal ini bukanlah
pesoalan mudah sebab Ibnu Taimiyyah sendiri telah menceburkan sebagian kalangan
dalam kebingungan dan kegamangan lantaran tulisan-tulisannya mengenai sufisme
yang terkesan ambigu (tidak jelas), sampai-sampai mereka salah menduga bahwa ia
menolak tasawuf atau memusuhi kaum sufi secara umum. Padahal kenyataanya tidak
demikian. Fakta ini akan terungkap jelas setelah menganalisis dan mengevaluasi
kritik-kritik yang dilancarkan Ibnu Taimiyyah terhadap tasawuf dan kaum sufi.
Sehingga
kami tertarik untuk mengkaji dan menganalisa pemikiran Ibnu Taimiyyah yang
terbilang nyeleneh. Senghingga berdasarkan hal tersebut pada makalah ini
kami memberi judul Kritik Dan Sikap Ibnu Taimiyyah dalam Tasawuf.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Siapakah Ibnu
Taimiyyah?
2.
Bagaimanakah
Kritikan Ibnu Taimiyyah Terhadap Tasawuf?
3.
Bagaimanakah
Sikap Ibnu Taimiyyah dalam Tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAH
A.
Biografi
dan Sejarah Singkat Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap
Ibnu Taimiyyah adalah Taqiyyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad ibn
al-‘Allaamah Syihaab al-Diin Abi al-Mahaasin Abd al-Haliim ibn al-Syaikh
al-Imam syaikh al-Islam Majd al-Diin Abi al-Barakaat Abd al-Salaam ibn Abi
Muhammad Abdullah ibn Abi al-Qosim al-Khudhr ibn Ali ibn Abdillah ibn Taimiyah
al-Haraaniy.[2]
Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan
meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan
Mesir, serta kamu muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad
Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syaikh, Khatib
dan hakim di kotanya.[3]
Ibn Taimiyah
terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun, ia telah dipercaya
masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara
resmi.[4] Para ulama yang merasa sangat risau oleh
serangan-serangannya serta iti hati terhadap kedudukannya di Istana Gubernur
Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan
untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah
sebagai klenik, antroporpisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil
ke Kairo kemudian dipenjarakan.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan
kondisi dunia Islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan
dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah Bagdad
dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab itu, dalam upayanya
mempersatukan umat Islam, mengalami banyak rintangan, bahkan ia harus wafat di
dalam penjara.
Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat
mendukung perkembangannya untuk kelak
menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd
al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki
jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala
para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini
kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[5]
B.
Kritikan Ibnu Taimiyyah Terhadap Tasawuf
1.
Kritikan
Ibnu Taimiyyah Terhadap Kebiasaan Khalwat Kaum Sufi
Sudah maklum adanya bahwa kaum sufi cenderung pada khalwat atau ‘uzlah
(menyepi dan mengucilkan diri) dalam beberapa kondisi agar bisa
berkonsentrasi menghadap Allah SWT dengan lebih banyak beribadah dan bisa
menyibukan diri dengan dzikir dan pikir yang berkesinambungan. Dalam hal ini,
mereka ingin meneladani jejak Rasulullah SAW yang menurut sejumlah riwayat
sering melakukan tahannuts (menyepi) di gua Hira sebelum diangkat
menjadi Rasul agar lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah atau berkomunikasi
dengan al-ufuq al-a’la.[6]
Imam
Mislim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah RA, ia bercerita:
“Wahyu pertama yang turun pada Rasulullah SAW berupa mimpi yang benar dalam
tidur beliau, dan tidaklah beliau mendapati mimpi tersebut melainkan seperti
keheningan fajar subuh. Kemudian beliau lebih suka menyepi. Beliau biasanya
menyepi di Gua Hira. Di sana beliau menghabiskan beberapa malam untuk beribadah
kepada Allah sebelum kembali kerumah. Untuk tujuan tersebut, beliau membawa
sedikit perbekalan. (Setelah beberapa hari berada disana) beliau pulang kepada
Khadijah mengambil perbekalan untuk beberapa malam. (Prilaku ini terus beliau
jalani) hingga tiba-tiba diberi wahyu saat tengah berada di Gua Hira.”[7]
Hadits Rasulullah SAW ini di sikapi oleh kalangan ahli ilmu yang
objektif dengan sikap objektif tanpa menyulut ke-musykil-an di dalamnya,
bahkan mereka mendukung prilaku orang-orang shaleh yang cenderung menyukai
khalwat sebagai prilaku hamba-hamba terdekat Allah SWT yang lebih memilih
khalwat (menyepi) daripada berbaur dengan khalayak manusia karena menurut
mereka khalwat mampu memfokuskan hati untuk berdzikir kepada Allah dan membantu
para ahli ibadah (nassak) untuk memperbanyak ibadah.
An-Nawawi mengatakan : “Khalwat -menyepi- merupakan prilaku
orang-orang shaleh dan hamba-hamba ‘arif billah. Abu Sualaiman
al-Khathabi mengatakan : Rasulullah SAW menggemari ‘uzlah karena itu
membantu proses tafakkur. Dengan menyepi, beliau bisa memutuskan
diri dari hal-hal yang menjadi kebiasaan manusia dan (karenanya) bisa
memperoleh kekhusyukan hati.”[8]
Meski tidak ada seorang pun tokoh sufi yang menyatakan ke-mustahaban-an
berkhalwat bagi para murid, lebih spesifik lagi di Gua Hira, Ibnu Taimiyyah
tetap melancarkan kritik terhadap mereka karena mereka menggunakan hadits
diatas sebagai dasar kecintaan berkhalwat yang mereka cenderungi.
Ibnu
Taimiyyah mengatakan: “Terkait khalwat, sebagian kaum sufi berargumen dengan
prilaku tahannuts Nabi Muhammad SAW di Gua Hira sebelum turunnya wahyu.
Ini keliru, sebab jika memang apa
dilakukan Nabi Muhammad SAW sebelum kenabian, tentu kita sudah
diperintahkan untuk mengikutinya dalam hal tersebut, namun jika tidak, maka hal
itu pun tidak boleh dilakukan. Nyatanya, sejak mendapat wahyu (pertama) dari
Allah SWT, beliau tidak pernah lagi naik ke Gua Hira, begitu pula para khulafa‘urrasidun.
Sebelum hijrah, beliau tinggal di Makkah selama belasan tahun, kemudian
(pasca hijrah) beliau sempat masuk kota Makkah untuk menunaikan umrah qadha’,
lalu pada waktu Fath Makkah beliau juga tinggal disana selama empat
malam. Selama itu, beliau sama sekali tidak pergi ke Gua Hira, padahal dekat
letaknya. Hal itu dikarenakan pergi ke Gua Hira merupakan tradisi yang biasa
dilakukan pada masa Jahiliyah.”[9]
Tidak seorang pun yang berselisih dengan Ibnu Taimiyyah dalam hal
bahwasannya kehidupan Rasulullah SAW sebelum kerasulan bukanlah sumber
penetapannya syariat. Akan tetapi, bukankah semua sepakat bahwa Allah SWT telah
memilih dan mempersiapkan beliau sejak awal untuk mengemban amanat kerasulan?!
Bukankah sudah masyhur pula bahwa setelah diangkat menjadi Rasul sekalipun
beliau juga masih suka berkhalwat dengan mengucilkan diri dari istri-istri
beliau, agar bisa berkonsentrasi menghadap Allah SWT dengan lebih banyak
ibadah, terutama pada sepuluh hari terakhir bual Ramadhan?! Bukankah i’tikaf
secara umum juga di sunahkan dalam Islam?!
Konsepsi-konsepsi di atas, rupanya juga tidak samar lagi bagi Ibnu
Taimiyyah. Karena itu, kita lihat ia tidak memungkiri legalitas khalwat secara
umum. Permasalahan pokoknya adalah ia hanya menolak pemakaian hadits di atas
sebagai hujjah atas prilaku khalwat kaum sufi yang kemudian ia jadikan
sasaran tembak kritiknya. Menurutnya, kritik yang ia lancarkan merupakan upaya
memerangi praktik bid’ah yang diperagakan sebagian oknum pelaku khalwat yang
mengkonsentrasikan hati kepada Allah SWT dengan membatasi diri pada dzikir
tertentu tanpa yang lain, dan tanpa menyibukan diri dengan membaca kitab pada
waktu khalwat.
Ibnu
Taimiyyah mengatakan : “Kemudian diantara pelaku khalwat ada yang masih tetap
berpegang teuh pada jenis ibadah yang disyariatkan, antara lain shalat, puasa,
membaca al-Quran, dan dzikir. Namun, kebanyakan di antara mereka keluar dari
rel syara’ dengan menjalankan aneka ragam amalan yang tidak disyariatkan,
misalnya, tarekat Abu Hamid al-Ghazali dan orang-orang yang mengikutinya.
Mereka memerintahkan pelaku khalwat agar tidak menambah (memperbanyak) amalan
fardhu, baik membaca al-Quran, hadits nabawi, maupun yang lain, akan tetapi
mereka menyuruhnya memperbanyak dzikir, kemudian mengucapkan apa yang di
ucapkan Abu Hamid (dengan rincian:) dzikir kaum awam adalah la ilaha
illallah, dzikir kaum khash adalah Allah Allah, sementara dzikir
kaum khawashil khawash adalah huwa huwa. Dzikir dengan isim
mufrad, baik yang berupa isim zhahir (yakni Allah Allah)
aupun yang berupa isim dhamir (yakni huwa huwa) merupakan praktik
bid’ah dalam syara’ dan keliru dari segi ucapan dan tata bahasa, sebab asma
Allah tersebut (ansich) bukanlah kalam sehingga tidak menunjukan
keimanan maupun kekufuran.”[10]
Kritik Ibnu Taimiyyah ini secara zhahir ditunjukan pada apa yang
terjadi dalam beberap kasus prilaku khalwat, berupa pengesampan ingan ilmu
(belajar) demi berkonsentrasi dzikir dan ibadah. Padahal kaum sejati seperti
al-Ghazali dan lainnya sangat apresiatif terhadap ilmu dan menganggapnya
sebagai bagian integral dari sarana pendekat diri kepada Allah SWT, akan tetapi
pada beberapa waktu mereka memilih lebih menyibukan diri dengan dzikir tanpa
aktivitas yang lain demi lebih menguatkan hubungan mereka dengan Allah SWT. Dan
hal ini bukanlah sesuatu yang patut dipersalahkan, sebab tujuan dari menuntut
ilmu adalah amal.
Terkait dengan wacana yang diusung Ibnu Taimiyyah bahwa dzikir
dengan lafal al-jalalah “Allah”, baik dalam bentuk isim zhahir
maupun dhamir adalah bid’ah syara’, ini merupakan pendapat yang terlampau
ekstrem sebab Allah SWT berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman,
berdzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.” (QS. al-Ahzab : 41).
Dzikir kepada Allah bisa dilakukan dengan mengulang-ulangi kalimat tauhid “la
ilaha illallah” dengan memperbanyak menyebut asma’-asma’ Allah dan
sifat-sifat-Nya yang menunjukan kesempurnaan, dan bisa juga dengan menyebut
lafal al-jalalah “Allah”. Semua ini merupakan jenis dzikir yang dianjurkan
dalam syara’, dan paling afdhal sebagaimana yang dirilis dalam berbagai atsari
adalah berdzikir dengan redaksi : “la ilaha illallah”.[11]
Dalam hal ini, tidak ada seorangpun tokkoh sufi paripurna yang berbeda
pendapat dengan Ibnu Taimiyyah, baik al-Ghazali maupun yang lain.
2.
Kritik
Ibnu Taimiyyah dalam Masalah Ilham
Ibnu Taimiyyah mengkritik sebagian kaum sufi yang mencampuradukan ilham
dengan yang lain. Ia mengatakan:
“Jenis ini (ilham) memang nyata adanya,
namun banyak pula yang baru sekedar dugaan, dan banyak kalangan diantara mereka
(kaum sufi) yang tidak bisa membedakan ilham asli dengan ilham palsu.
Ada diantara mereka misalnya, yang mendengar sebuah seruan (khithab) atau
bertemu dengan orang yang memerintahkan sesuatu padahal seruan tersebut berasal
dari setan. Ada lagi yang bisa terbang di udara atau disuguhi makanan, minuman,
atau nafkah yang dating sendiri padanya, dan menyangka sebagai karamah.
Fenomena ini dan sejenisnya banyak sekali terjadi.”[12]
Kritikan Ibnu Taimiyyah terhadap sebagian kalangan yang mencampur
adukan ilham dengan yang lain ini meskipun lebih dekat kepada kesan
generalisasi, namun ia sama sekali tidak bermaksud menafikan ilham-ilham shahih
yang diperoleh kaum sufi sejati. Dari baris awal pernyataanya di atas, ia
mengatakan bahwa ilham merupakan fakta yang tidak bisa di pungkiri. Ia
hanya ingin menunjukan keharusan memilih dam memilah antara ilham yang
shahih dan apa yang dikhayalkan oleh sebagian kalangan sebagai ilham (atau
bisa disebut pseudo-ilham) padahal sama sekali bukan ilham
karenatidak sesuai dengan syara’ dan kenyataan.
Ibnu Taimiyyah juga mengkritik sebagian sufi yang merasa cukup
dengan ilham, lalu tidak mau mengkaji ilmu normatif. Ia mengatakan:
“Kalian mengambil ilmu kalian yang mati dari yang mati, sementara kami
mengambil ilmu dari sang maha hidup yang tak mati.” Ia lantas menyebutkan bahwa
sunnah merupakan kebenaran, selama diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tsiqah.
Sedangkan apa yang di klaim oleh kalangan ini sebagai mukasyafat
merupakan suatu yang amsih diragukan sehingga tidak seyogianya dipercayai,
apalagi sampai berpaling dari mempelajari ilmu normatif (diantaranya sunnah)
demi mengejar kasyaf.[13]
Sebenarnya, tidak seorang pun kaum sufi paripurna yang mengabaikan
ilmu normatif (an-naql). Mereka justru menyerukan untuk berpegang teguh
pada sunnah secara lahir batin. Puncaknya, mereka memahkotai ilmu-ilmu normatif
mereka dengan menghadapkan seluruh raa dan nurani mereka kepada Allah SWT
sehingga tersingkaplah dihadapan mereka hakikat-hakikat yang tidak diketahui
oleh selain mereka yang sibuk dengan normativitas dan rasionalitas.
3.
Kritik
Ibnu Taimiyyah mengenai beberapa prilaku Maqamat dan Ahwal
Ibnu Taimiyyah mengkritik sebagian kelompok kaum sufi yang
berlebih-lebihan dalam zuhud dan menolak rasionalisme pemikiran (an-nazhr
al-‘aqli), lalu menyamakan mereka dengan kaum Nashrani. Ia mengatakan:
“Kaum sufi dan sejenisnya lebih dekat dengan kaum Nashrani yang menjalankan
peribadatan, zuhud, dan akhlak tanpa pengetahuan maupun wawasan sehingga
sesat.”
Tampaknya, persamaan yang disebutkan Ibnu Taimiyyah di atas hanya
ditujukan khusus bagi kaum pseudo-sufi yang bodoh. Oleh karena itu, ia lantas
mengutif yang mengindikasikan hal tersebut “Diriwayatkan dari Sufyan bin
Uyainah, ia berkata : Barangsiapa diantara ahli-ahli ibadah kita yang keliru
dalam beribadah maka ia memiliki kemiripan dengan kaum Nashrani.”
Untuk selamat dari keterjerumusan ke dalam hal-hal yang
bertentangan syari’at, kaum sufi yang masih bodoh harus berkomitmen menapaki
jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah
mengatakan: “Kalangan ahli zuhud mengagung-agungkan iradah, murid, dan
jalan ahl al-iradah. Mereka melandaskan prilaku mereka kepada iradah.
Ini memang seharusnya bagi penganut jalan yang lurus, dan iniharus sesuai
dengan apa yang di ajarkan Rasulullah SAW sebab iman adalah manisfetasi ucapan,
perbuatan, dan berkomitmen mengikuti sunnah. Kaum sufi lebih menitik beratkan
pada jenis iradah, yakni kata hati dan mencela hawa (hasrat
diri). Namun, banyak di antara mereka yang tidak bisa membedakan antara iradah
syar’i yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan iradah yang
bersifat bid’ah.”[14]
Dari statement ini terlihat jelas bahwa kritik Ibnu
Taimiyyah terhadap kaum sufi pada fenomena berlebih-lebihan yang dilakukan oleh
sebagian sufi dalam hal kezuhudan atau menyimpang sebagian mereka dari rel-rel
syariat.
4.
Kritik
Ibnu Taimiyyah dalam masalah-masalah lain
Ibnu Taimiyyah mengkritik kalangan sufi ekstrem yang terlalu
mengagungkan para syaikh dan wali semasa hidup mereka dengan menganggap mereka
sebagai orang-orang suci yang terpelihara dari perbuatan dosa. Ia mengatakan:
“Syarat
menjadi wali Allah bukanlah bersih-bersihnya dari tindak kesalahan yang masih
diampuni, atau meninggalkan dosa-dosa kecil secara total, bahkan mereka juga
tidak dipersyariatkan bersih-bersihnya dari dosa besar. Namun, pakem ini di
langgar oleh kalangan Quaisi-Rafidhah yang terlalu berlebihan dalam
mengagung syaikh-syaikh tarekat yang meyakini mereka sebagai sosok wali. Mereka
menyatakan bahwa wali berstatus mahfuzh (terpelihara) sementara nabi
berstatus ma’shum. Memang kebanyakan di antara mereka tidak menyatakan
hal tersebut secara lisan, akan tetapi tindakan mereka mengindikasikan sebuah
keyakinan bahwa seorang syaikh atau wali tidak pernah bebuat salah maupun dosa.
Semua ini merupakan kesesatan-kesesatan ala Jahiliyyah.”[15]
Ibnu Taimiyyah juga mengaskan peringatanya agar tidak
berlebih-lebihan mengagungkan sebagian wali karena hal itu bisa mengakibatkan
dampak-dampak genting yang bertentangan dengan akidah yang lurus dalam Islam.
Ia mengatakan:
“Praktik
ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling jelas dipertontonkan oleh kalangan
Nashrani dan Syiah Rafidhah. Namun, dalam perkembangannya muncul kelompok
ketiga dari kalangan ahli-ahli ibadah dan zuhud yang belebih-lebihan dalam
mengsyakralkan syaikh-syaikh mereka sehingga terjebak syirik, menyekutukan
Allah SWT dengan mereka.”[16]
Pernyataan Ibnu Taimiyyah mengenai kaum ektstrem sufi ini
dimaksudkannya untuk meruntuhkan aura sakralisasi yang menyelubungi sebagian
tokoh yang dianggap wali sehingga menjebak para pengikutnya pada praktik ghuluw
yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang tentu saja bertentangan
dengan akidah tauhid dalam Islam. Tujuan IbnuTaimiyyah ini benar, dan tidak
seorang pun kaum sufi sejati pun mengingkarinya. Sebab, meskipun mereka gemar
mencintai para wali, namun mereka tetap meyakini bahwa kesempurnaan hanya milik
Allah SWT semata dan ke-ma’shum-an (keterjagaan dari segala kesalahan
dan dosa) hanya milik para nabi dan rasul, sedangkan para manusia selain
mereka, bisa salah dan benar.[17]
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ بَنِى
ادَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap
bani adam (anak manusia) pasti pernah berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang
berbuat dosa adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah)
Dapat kita pahami, meskipun Ibnu Taimiyyah benar adanya terkait
dengan komitmennya untuk memurnikan tauhid semurni-murninya, namun ia terlalu
berlebihan dalam beberapa kritiknya, dan produk-produk hkum yang dikeluarkannya
pun terlalu ektrem (mutasyaddid).
C.
Penerimaan Ibnu Taimiyyah Terhadap Tasawuf Dalam Beberapa Isu
Penting Sufisme
Aspek kedua yang menunjukan tingkat penerimaan Ibnu Taimiyyah
terhadap tasawuf bisa diidentifikasi dari penelaahan terhadap sejumlah
pernyataan yang mengimplisitkan pengakuannya terhadap isu-isu penting yang
memiliki kaitan erat dengan hakikat tasawuf sebagaimana terpapar di bawah ini.
1.
Apresiasi
Ibnu Taimiyyah Terhadap Maqamat dan Hal
Apresiasi Ibnu Taimiyyah terhadap prilaku-prilaku Maqamat dan Hal,
seperti sabar, syukur, tawakal, takut dan harap, cinta Allah, dan
prilaku-prilaku lain yang identik dengan kaum sufi terlihat dari pengakuannya
terhadap madlulat pengertian prilaku-prilaku tersebut yang juga yang
juga digalakan oleh al-Quran maupun Sunnah. Hal itu antara lain terlihat ketika
ia menjelaskan rambu-rambu jalan menuju Allah sebagaiberikut:
“Lafal-lafal
yang di sampaikan al-Quran dan sunnah harus kita telusuri pengertian-pengertian
yang ditunjukannya, misalnya: lafal iman, birr (kebajikan), taqwa (ketakwaan),
‘adl (keadilan), ihsan (perbuatan baik), shabr (kesabaran),
syukr (kesykuran), tawakkal (keberserahan diri), raja’ (pengharapan),
al-hubb fillah (cinta demi Allah), tha’ah (taat kepada Allah dan
Rasul), serta lafal-lafal lainnya yang mengandung pesan untuk melakukan hal-hal
yang disukai Allah dan Rasul-Nya, baik amalan hati maupun amalan fisik sebab
perkara-perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya ini merupakan jalan pengantar
kepada Allah dan Rasulnya. Jadi setiap muslim harus memperhatikan apa-apa yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, kemudian menjalankannya, kemudian
menjalankannya, dan apa saja yang dilarang Allah dan Rasul-Nya untuk kemudian
meninggalkannya. Inilah jalan Allah.”[18]
Menurut Ibnu Taimiyyah, zuhud yang merupakan pangkal jalan menuju
Allah SWT dan Maqamat tasawuf terpenting tidak serta merta menolak
kekayaan atau keterikatan pada kebutuhan-kebutuhan hidup yang bersifat primer,
sebab dalam pemahaman yang benar, zuhud adalah meninggalkan kemewahan hidup dan
menghindari segala hal yang bisa memalingkan diri dari Allah. Sebagaimana
arahan yang disampaikan oleh kaum sufi sejati, Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Zuhud bisa bersanding bersama kekayaan, dan bisa pula bersama
kefakiran. Ada di antara nabi dan para tokoh terdahulu (al-sabiqun al-awwaun)
yang menjadi zahid ditengah kekayaan yang berlimpah. Zuhud yang
disyariatkan adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat untuk hari
kemudian (akhirat). Meninggalkan segala sesuatu yang bisa membantu seorang
hamba dalam menjalankan ketaatan kepada Allah bukanlah termasuk zuhud yang
disyariatkan, akan tetapi yang disyariatkan adalah meninggalkan kemewahan hidup
yang bisa menyibukan diri dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”[19]
Zuhud syar’i menurut Ibnu Taimiyyah juga mendorong pelakunya untuk
tetap bekerja mencari rezeki dan memperbanyak infak untuk kepentingan kebaikan.
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Kalangan
ahli ilmu mengatakan bahwa manusia yang paling zuhud setelah Rasulullah SAW
(dalam artian zuhud syar’i) adalah Abu Bakar dan Umar. Hal itu dikarnakan Abu
Bakar memiliki harta berlimpah yang kemudian ia infakan seluruhnya di jalan
Allah, dan setelah menjabat sebagai khalifah ia tetap pergi ke pasar untuk
berdagang dan bekerja mengais penghasilan.”[20]
Mahabbah lillah (cinta
Allah) yang merupakan ahwal terpenting dalam sufisme, menurut Ibnu
Taimiyyah juga merupakan sasaran yang harus dituju (maqshud li dzatihi).
Implikasinya adalah ketaatan kepada Allah, dan cara mendekatkan diri kepada-Nya
adalah dengan beribadah dan beribadah, bukan untuk meraih kenikmatan surga,
melainkan untuk meraih cinta-Nya semana sebagaimana ungkapan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam salah
satu syairnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Kaum
salaf, para imam, serta segenap ahlussunnah dan ahlullah sepakat
bahwa Allah SWT mencintai dan dicintai. Barangsiapa berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan cinta Allah adalah kecintaan untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
maka ia terjebak pada kontadiksi, sebab kecintaan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya merupakan konsekuensi lanjut dari kecintaan kepada-Nya, sehingga
barngsiapa mencintai Allah maka ia pun suka mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun
orang yang melaksanakan perintah-Nya dengan tendensi lain, meka pada hakikatnya
ia mencintai tendensi tersebut yang mendorongnya untuk beramal dan menjadikan
ketaatan kepada Allah SWT sebagai kendaraan.”[21]
Terkait dengan tingkah merasa cukup (al-ghina) dengan
menyaksikan Allah dari penyaksian selain Allah yang banyak dibincangkan kaum
sufi, Ibnu Taimiyyah tampaknya cukup toleran sebab dalam kondisi kebatinan
demikianlah Allah SWT hadir dan kuasa-Nya mendominasi hati sehingga saat
menyaksikan al-haqq mereka tidak lagi menoleh-noleh pada dirinya maupun
pada hal-hal baru selain Dia.
Ibnu
Taimiyyah mengatakan: “Adapun yang kedua (yakni percukupan diri dari memandang
selain-Nya) merupakan hal yang di alami banyak salik, sebagaimana
hikayat ihwal Abu Yazid dan tokoh-tokoh sufi sekalibernya. Ia adalah maqam
ishtilam, yaitu lebur dengan Maujud-nya dari wujudnya, dengan yang
disembahnya sari sembahyangnya, dengan yang disaksikannya dari kesaksiannya,
dengan dzikirnya dari dzikirnya sehingga fanalah yang sebelumnya tiada dan
kekallah yang senantiasa ada. Syahdan, ada seorang laki-laki mencintai
seseorang, lalu orang yang dicintainya itu menceburkan diri kedalam air, dan ia
pun ikut menceburkan diri. Ia pun ditanya,: mengapa kamu ikut-ikutan
menceburkan diri?” Ia menjawab, “Aku lebur denganmu dari diriku sehingga aku
piker kamu adalah aku.” Ini baru sebatas antar makhluk, lalu bagaimana jika
hatinya menyaksikan wujud al-Khaliq. Ini merupakan persoalan yang
dihadapi kalangan salik. Ada yang menjadikannya sebagai suluk, ada yang
menjadikannya sebagai tujuan suluk sehingga menurut mereka tujuan suluk adalah
lebur dalam tauhid rubbuiyyah.”[22]
Mencukupkan diri dengan Allah SWT dalam artian melepaskan diri dari
jerat nafsu tercela yang digaungkan kaum sufi, juga menjadi agenda Ibnu
Taimiyyah. Semua ini menunjukan bahwa Ibnu Taimiyyah memberi apresiasi pada maqamat
dan ahwal sufi dalam bingkai yang benar, yaitu komitmen memelihara
syariat.
2.
Anjuran
Ibnu Taimiyyah untuk memperbanyak ibadah
Ibnu taimiyyah menganjurkan pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah
sebanyak mungkin (sebagaimana halnya kaum sufi) selama masih dalam batas-batas
yang disyariatkan dalam agama dan bukan bid’ah yang dibuat-buat oleh sebagian
kalangan.
Dalam
hal ini ibnu taimiyyah mengatakan: ”Amalan yang disyariatkan dari ibadah-ibadah
sunnah adalah amalan-amalan yang bisa mendekatkan pelakunya kepada Allah SWT
sebagai jalan menuju Allah, antara lain berbuat kebajikan, ketaatan, amal-amal
baik, dan ma’ruf. Ia merupakan jalan yang dititi kaum salikin dan
jalur yang diikuti para qashidin dan abidin (ahli ibadah). Dan
inilah yang ditempuh oleh setiap orang yang menginginkan Allah dan menjalani
prilaku zuhud, ibaadah, dan hal-hal yang disebut dengan faqr, tasawuf,
dan jenisnya.”[23]
Sebagai dasar pelaksanaan ibdah-ibadah sunah yang disyariatkan ini
Ibnu Taimiyyah mengutif sejumlah hadits shahih yang secara garis besar
mendorong moderatisme dalam beribadah. Ia mengatakan:
“Tidak
ada jalan menuju Allah selain mengikuti Muhammad SAW, ibdah-ibadah yang beliau
perintahkan, baik yang berstatus wajib maupun mustahab, merupakan ibadah
yang disyariatkan, disamping ibadah yang beliau anjurkan dan beliau sebutkan
pahala dan keutamaannya. Karena itu, tidak diperbolehkan menyatakan ibadah ini mustahab
atau disyariatkan kecuali dengan dalil syar’i. syariat tidak ditetapkan
berdasarkan hadits dha’if, namun jika memang ada riwayat yang menyatakan bahwa
satu amal mustahab dengan dasar dalil syar’i dan diriwayatkan memiliki
banyak keutamaan dengan sanad-sanad yang lemah maka ia boleh diriwayatkan
selama memang tidak diketahui kepalsuan hadits tersebut. Inilah pendapat yang
dipegang imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lain yang member keringanan
didalamnya dan dalam periwayatan hadits-hadist fadha’il. Namun, mereka jauh
dari tindakan menetapkan suatu amal sebagai amalan mustahab dan
disyariatkan dengan hanya berlandaskan hadits dhaif.” [24]
Dari paparan diatas jelas bahwa Ibnu Taimiyyah menganjurkan
ibadah-ibadah sunnah (nawafil) dalam batas-batas kewajaran dan
kemoderatan, sebagaimana yang diriwayatkan Sang Penetap Syariat yang Agung.
3.
Penerimaan
Kebenaran Fakta Perolehan Kasyf dan Ilham
Ibnu Taimiyyah menerima secara aksiomatik fakta perolehan kasyf
dan ilham oleh para sufi sejati, bahkan ia menegaskan kecenderungan ini
sambil menguatkannya dengan dalil-dalil beupa atsar-atsar
kenabian dan khabar-khabar para sahabat. Ia mengatakan:
“Kaum
sufi sejati dikarunia ilham-ilham yang shahih sebagaimana isyarat Nabi
SAW dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Beliau bersabda: “
sungguh didalam umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang diberi ilham, dan
jika memang ada satu ada ditengah umatku maka ia pastilah Umar.” Umar sendiri
mengatakan: “Mendekatlah mulut orang-orang taat, dan dengarkan apa yang mereka
katakan, sesungguhnya ia adalah manifestasi perkara-perkara sejati mereka.
Diriwayatkan juga dalam Sunan at-Tirmidzi dari Abu Syaid dari Nabi SAW, beliau
bersabda: “Hati-hatilah dengan firasat seorang mukmin sebab ia melihat dengan
cahaya Allah.” Kemudian beliau membaca ayat: “Sesungguhnya pada yang demikian
itu banar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan
tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr (15) : 75). (Mengomentari hadits ini) seoang tokoh
sahabat mengatakan: “Demi Allah, menurut dugaanku ia benar-benar merupakan
kebenaran yang dimasukan Allah SWT kedalam hati dan pendengaran mereka.
Disebutkan pula dalam Shahih al-Bukhari dari Abu hurairah RA dari Nabi SAW,
beliau bersabda: “Jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan sunnah maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya maka Akulah
pendengarannya yang aku jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia
jadikan untuk memandang, dan tangannya yang jadikan ia untuk memukul, dan
kakinya yang dijadikannya untuk berjalan.” Konon, Umar mendengar dengan
kebenaran dan melihat dengannya. Mereka pun mengatakan bahwa ketenangan
terpatri dilisan Umar RA.”[25]
Ibnu Taimiyyah juga mendekatkan jurang perbedaan antara kaum fuqaha
dan sufi. Ia mengungkapkan bahwa konsep mashalih mursalah (yang
merupakan salah satu metode penemuan hokum dam syara’) tidak hanya terbatas
pada prinsip pemeliharaan kepentingan duniawi manusia seperti memelihara diri
dan harta benda sebagaimana asumsi kaum fuqaha’, akan tetapi ia menckup
unsure jaminan perlindungan terhadap urusan-urusan akhirat kaum muslim yang
dirasakan kalangan sufi berupa pengetahuan-pengetahuan makrifat yang mereka
peroleh melalui jalan ilham.[26]
Dari paparan diatas bisa kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyyah tetap
mengakui adanya kasyf dan ilham bagi kaum sufi sejati (ash-shadiqin).
Demikianlah aspek kedua dari Ibnu Taimiyyah terhadap tasawuf yang
memperlihatkan kepada kita akan tingkat penerimaan Ibnu Taimiyyah terhadap
tasawuf yang diindikasikan dengan sikap afirmatifnya terhadap beberapa isu
penting yang identik dengan kaum sufi sejati.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah di jelaskan di atas, maka dapat
kami simpulkan sebagai berikut:
1.
2.
Kritikan
dan Pernyataan Ibnu Taimiyyah mengenai kaum ektstrem sufi, dimaksudkannya untuk
meruntuhkan aura sakralisasi yang menyelubungi sebagian tokoh yang dianggap
wali sehingga menjebak para pengikutnya pada praktik ghuluw yang
merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang tentu saja bertentangan dengan
akidah tauhid dalam Islam. Tujuan IbnuTaimiyyah ini benar, dan tidak seorang
pun kaum sufi sejati pun mengingkarinya. Sebab, meskipun mereka gemar mencintai
para wali, namun mereka tetap meyakini bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT
semata dan ke-ma’shum-an (keterjagaan dari segala kesalahan dan dosa)
hanya milik para nabi dan rasul, sedangkan para manusia selain mereka, bisa
salah dan benar.
3.
Ibnu
Taimiyyah di samping terkenal sebagai pengkeritik kaum sufi, ternyata Ibnu
Taimiyyah juga mengakui kebenaran beberapa isu penting yang diusung kaum sufi,
misalnya, pendapat mereka mengenai ilham, pengkategorian ru’ya
shadiqah (mimpi yang benar) sebagai salah satu jenis pendidikan ilahiah,
ujaran mereka mengenai zuhud, sabar, dan cinta ilahiah, dan
permasalahan-permasalahan lain yang menjadi fokus kajian mereka dalam ilmu
tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995
Fauqi Hajjaj, Muhammad, Taswuf
Islam dan Akhlak, Jakarta,
Amzah, 2011
Ibrahim Zaki Khurshid, Da’irah al-Ma‘arif
al-Islamiyah:, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969
Muslim , Abu Husain bin al Hajjaj , Shohih Muslim, Jilid I,
Beirut: Dar al Fikr, t.t.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
an-Nawawi, Muhammad, Yahya bin Syaraf, Syarh an-Nawawi ‘ala
Shahih Muslim, Beirut, dar al-fikr, t.th
Taimiyyah Ibnu, Majmu’ah Rasail al-Kubra, Mesir , Al-Manar,
1333 H
, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Mesir, Al-Manar, 1341 H
, Manhaj al-Sunnah, Al-Manar, Mesir 1341 H
[1]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf
Islam dan Akhlak, Jakarta,
Amzah, 2011, hal.175
[2] Al-Mahmud, Abd Al-Rahman ibn Shalih ibn
Shalih Mauqif ibn Taimiyah min Al-Asyaa’irah, Maktabah Al-Rusyd, Riyadh Saudi Arabia, Cet. 1 1995,
hal. 151
[4] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h.130
[6]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf Islam
dan Akhlak, hal.176
[7]
Muslim , Abu Husain bin al-Hajjaj, Shohih Muslim, Jilid I, Beirut, Dar
al-Fikr, t.t., Jilid II, hal. 197
[8]
Muhammad, Yahya bin Syaraf an-Nawawi,, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,
Beirut, dar al-fikr, t.th, hal.198
[9]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, (Al-Manar, Mesir 1341 H),
Juz V, hal.84
[10]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, hal.86
[11]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf
Islam dan Akhlak, hal.180
[12]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz II, hal.143
[13]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf
Islam dan Akhlak, hal.185
[14]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail al-Kubra, (Al-Manar, Mesir 1333 H), Juz
I, hal.77-78
[15]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail al-Kubra, Juz I, hal.43-44
[16]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail al-Kubra, Juz I, hal.133
[17]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf
Islam dan Akhlak, hal.192
[18]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, (Al-Manar, Mesir 1341 H),
Juz I, hal.218-219
[19]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, hal.220
[20]
Ibnu Taimiyyah, Manhaj al-Sunnah, (Al-Manar, Mesir 1341 H), Juz IV,
hal.129
[21]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz V, hal.159-160
[22]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf
Islam dan Akhlak, hal.198
[23]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz V, hal.83
[24]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz V, hal.95
[25]
Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Rasail Wa al-Masail, Juz I, hal.51-52
[26]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Taswuf
Islam dan Akhlak, hal.203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar