URGENSI KITAB IHYA’
‘ULUM AD DIN
KARYA IMAM AL-GHAZALI
Makalah Pendekatan dalam Pengkajian Islam
Dosen pembimbing:
Dr. H. Umar Ibrahim, M.Ag
Disusun oleh:
ASEP SUPRIATNA
PROGRAM STUDI
MAGISTER AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA
SARJANA
INSTITUT PTIQ
JAKARTA
2016
MUKADIMAH
Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din merupakan salah satu karya
monumental yang menjadi intisari dari seluruh karya imam al-Ghazali. Secara bahasa Ihya’ ‘Ulum ad-Din berarti menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama. Sebagaimana judulnya kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu agama
yang akan menuntut umat Islam, tidak berorintasi pada kehidupan dunia belaka, akan
tetapi kehidupan akhirat yang lebih utama.
Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din
disusun pada waktu ketika umat Islam teledor terhadap ilmu-ilmu
Islam, yaitu setelah imam al-Ghazali kembali dari rasa keragu-raguan dengan tujuan
utama untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Mengapa demikian? Ketika itu, umat Islam acuh terhadap ilmu-ilmu
Islam dan mereka libih asyik dengan filsafat barat. Oleh karena
itu, al-Ghazali tergugah hatinya untuk membersihkan hati umat dari kesesatan, sekaligus
pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar baik Islam ataupun barat (orentalist)
dengan menghadirkan sebuah karya ilmiah ditengah-tengah umat Islam. Dalam makalah ini penulis sengaja akan
membahas alasan dan urgensi penulisan kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, karena kitab
ini merupakan kitab yang fenomenal dalam dunia Islam dan banyak dijadikan
sebagai rujukan para penulis setelahnya.
· Rumusan masalah
a)
Apakah yang melatar belakangi Imam al-Ghazali menulis kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din?
b)
Bagaimanakah
urgensi daripada kitab Ihya’ ‘Ulum Ad-Din?
· Hipotesa
Kitab
Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah hasil pengalaman, pengembaraan, penjelajahan,
dan pendalaman al-Ghazali di dalam berbagai ilmu. Kitab tersebut adalah hasil
karya positif setelah ia ragu (syak) terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu
sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan
Keistimewaan kitab ini adalah memuat semua ilmu-ilmu. Dalam kitab ini,
Al-Ghazali menyusun terdiri atas empat rubu’ (Perempatan) yaitu: Rubu’
(seperempat kitab tentang) ibadah, rubu’ (seperempat kitab tentang) adat
(kebiasaan), rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang membinasakan, rubu’ (seperempat kitab
tentang) hal-hal yang menyelamatkan. Alasan pembagian tersebut adalah karena
dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan
memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti) karena ilmu yang
diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah.
Tujuan dari kitab ini adalah mu’amalah saja, bukan ilmu mukasyafah
yang tidak ringan untuk memasukkannya di dalam buku-buku meskipun itu menjadi
puncak tujuan para penuntut ilmu dan keinginan pandangan para siddiqin”.
PEMBAHASAN
A. Alasan penulisan kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din
Berangkat dari keragu-raguan imam al-Ghazali tentang bagaimana iman
dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat
tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan
sejati (Ilmu Yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara
ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf, maka beliau
memutuskan untuk berkhalwat (menyepi) dengan tujuan mujahadah nafsiyah
atau melatih nafsunya, namun beliau harus meninggalkannya, dan mengembara dari
sebuah kota ke kota lainnya dengan membagi waktu untuk menjalankan ibadah,
mengarang, studi dan mencari ilmu. Di tengah pengembaraan inilah beliau menulis
kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din.[1]
Al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif. Kegiatannya di
bidang tulis menulis tidak pernah berhenti sampai ia meninggal dunia. Kehidupan
menyendiri yang dilaluinya tidak membuatnya berhenti menulis. Bahkan pada masa
inilah ia menyusun karya yang terkenal Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Dalam
muqaddimah kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din al-Ghazali mengatakan:
“Ketiga,
saya beristikharah kepada Allah SWT mengenai timbulnya cita-cita untuk menulis
sebuah buku tentang menghidupkan ilmu-ilmu agama (Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn). Keempat,
saya merasa terpanggil untuk memotong keta’ajubanmu wahai pencela yang
keterlaluan dalam mencela dari golongan orang-orang yang ingkar, yang
berlebih-lebihan dalam mencaci dan mengingkari dari golongan orang-orang yang
lalai”. [2]
Alasan-alasan di atas menyebabkan al-Ghazali berpendapat bahwa
sibuk menulis kitab adalah penting untuk menghidupkan ilmu-ilmu agama (Islam),
membuka tentang jalan-jalan para imam yang terdahulu, dan menjelaskan
tujuan-tujuan ilmu-ilmu yang bermanfaat di sisi para Nabi dan ulama salaf yang
salih. Kemudian beliau mengatakan :
“Adapun
ilmu jalan akhirat dan apa yang ditempuh oleh ulama salaf yang salih, yang
disebut oleh Allah Yang Maha Suci dalam kitab-Nya dengan fiqh, hikmah, ilmu,
cahaya, nur (sinar), hidayah (petunjuk) dan rusyd (petunjuk),maka telah
terlipat dari kalangan makhluk dan menjadi sesuatu yang dilupakan. Ketika hal
ini menggerogoti agama dan urusan yang gelap gulita maka saya berpendapat bahwa
sibuk dengan menulis kitab ini adalah penting untuk menghidupkan ilmu-ilmu
agama (Islam), membuka jalan-jalan para imam terdahulu dan menjelaskan tujuan
ilmu-ilmu yang bermanfaat di sisi para nabi dan ulama salaf yang salih”. [3]
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad Dīn
berbeda dengan kitab-kitab lain dalam lima hal.
“Orang-orang
telah mengarang beberapa kitab mengenai sebagian pengertian-pengertian ini tetapi
kitab ini berbeda dengannya dalam lima hal, yaitu: pertama, menguraikan apa
yang masih terbuhuldan membuka apa yang masih global. Kedua, mengurutkan apa
yang belum teratur dan mengatur apa yang tercerai berai. Ketiga, Meringkas apa
yang mereka panjang lebarkan dan menepatkan apa yang mereka putuskan. Keempat,
membuang apa yang mereka ulang-ulang dan menetapkan apa yang mereka tuliskan.
Dan kelima, mentahkik urusan-urusan yang samar yang menyebabkan salah faham
yang sama sekali belum dikemukakan di dalam buku-buku”. [4]
Jadi, faktor yang melatarbelakangi penyusunan kitab Ihyā' ‘Ulūm
ad-Dīn adalah seperti yang nampak pada ciri-ciri utama kitab ini yang
dijelaskan sendiri oleh pengarangnya sebagai berikut, yaitu: (a) menganalisis
dan menyoroti; (b) menata ulang; (c) memadatkan formulasi; (d) mempertegas dan
mempertajam persoalan; (e) melengkapi dalam hal-hal yang terlampau (tercecer)
terhadap keseluruhan apa yang telah dan sedang berkembang dalam pertumbuhan dan
pembinaan ilmu-ilmu agama (Ulūm ad-Dīn) selama lima abad.
Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah hasil pengalaman,
pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman al-Ghazali di dalam berbagai ilmu.
Kitab itu adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak) terhadap segala
persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu sendiri sedikit demi
sedikit hilang, berganti dengan keyakinan. Hal itulah yang kemudian disajikan
oleh al-Ghazali kepada kaum muslimin dengan kitabnya yang terkenal di segala
penjuru dunia itu.
Namun di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad beliau
masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti: al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz,
Khulasah ‘Ilm Fiqh, al-Munqil fi ‘Ilm al-Jadal (Ilmu berdebat), Ma’khaz
al-Khalaf, Lubab an-Nazar, Tahsin al-Ma’akhiz dan al-Mabadi’ wa alGayat fi Fann
al-Khalaf.[5]
B. Urgensi kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din
Kitab Ihya' Ulumuddin, buah karya Al Ghazali adalah salah satu
karya besar dari beliau dan salah satu
karya besar dalam perpusatakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Al
Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, namun yang
menjadi intisari dari seluruh karangan beliau itu ialah kitab Ihya' ‘Ulum ad
Din. Imam
Sayyid Bakri Adimyathi berkata :
“Dan tidak ada yang membantah Ihya’
Ulumiddin itu melainkan orang yang sesat lagi menyesatkan, bahkan berkata
sebagian arifin; “Demi Allah, jika sekiranya Allah bangkitkan orang mati
niscaya tidaklah mereka berpesan terhadap mereka yang hidup, melainkan dengan
apa yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, dan di dalamnya ada manfa’at
pelajar pemula, tinggi, dan tawassuth (sedang/tengah-tengah) karna di dalamnya
disebutkan perkara yang patut untuk tiga golongan tersebut”. Tetaplah kalian dengan melazimkan Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karna
dia itu tempat “pandangan” Allah dan keridloan-Nya. maka barangsiapa yang
mencintainya dan menelaahnya serta mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya,
maka sesungguhnya Ia telah berhak memperoleh kecintaan Allah dan kecintaan Rosul-Nya,
kecintaan malaikat malaikat-Nya, kecintaan para Nabi-Nya, kecintaan para
Wali-Nya, dan berarti Ia telah menjadikan antara Syari'at, Thoriqot, dan
Hakikat di dunia dan akhirat dan jadilah Ia orang yang alim di alam malakut”.[6]
Dalam menyusun kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn ini, pada dasarnya
al-Ghazali memakai sistematika ilmu fiqih dengan pengelompokan arba’iah
(terdiri dari empat rub’), yaitu: Rubu’ (seperempat kitab
tentang) ibadah, rubu’(seperempat kitab tentang) adat (kebiasaan), rubu’
(seperempat kitab tentang)
hal-hal yang membinasakan, rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang
menyelamatkan. Alasan pembagian tersebut adalah karena dua hal, yaitu: pertama,
pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan memahamkan adalah seperti daruri
(sesuatu yang mesti) karena ilmu yang diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada
ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah,[7]seperti yang dikatakan sendiri dalam mukaddimah kitabnya dengan Taswīr al-kitāb bi sūrah al-fiqh. Tetapi al-Ghazali melakukan rekonstruksi atas setiap rub’ dengan
penataan baru pada materi-materinya. Al-Ghazali memberikan landasan pokok bagi
ibadah-ibadah yang lazimnya dimulai dengan pembahasan “thaharah” kemudian
“shalat”, dan seterusnya dengan landasan ilmu dan iman (kepercayaan).
Karena kekhususan-kekhususan kitab ini, Ada dua hal mengapa
al-Ghazali mengasaskan kitab ini pada empat rub’(perempatan).
“Maka
inilah kekhususan-kekhususan kitab ini yang memuat semua ilmu-ilmu ini.
Sesungguhnya yang membawa saya untuk mengasaskan kitab ini pada empat
rub’(perempatan) adalah dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan
dalam mentahkik dan memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti)
karena ilmu yang diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’āmalah dan
ilmu mukāsyafah. Yang saya maksud dengan ilmu
mukāsyafaha dalah sesuatu yang dari padanya dituntut menyingkap sesuatu yang
diketahui (ma’lum), dan yang saya maksud dengan ilmu mu’āmalahadalah sesuatu
yang dari padanya dituntut mengetahui serta mengamalkannya. Tujuan dari kitab
ini adalah mu’āmalah saja, bukan ilmu mukāsyafah yang tidak ringan untuk
memasukkannya di dalam buku-buku meskipun itu menjadi puncak tujuan para
penuntut ilmu dan keinginan pandangan para siddiqin”. [8]
Dengan demikian kitab Ihya’ ‘Ulum Ad Din dengan kajian pembahasannya
yang menarik, dan mencakup segala aspek keilmuan, sangatlah cocok dipelajari
bagi setiap tingkatan. Kitab ini lebih menekankan amaliah syariah (perbuatan
yang sesuai dengan syariat) agar pembaca selalu berpegang teguh pada aturan
syariat Islam yang murni sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kitab Ihyā' ‘Ulūm ad-Dīn adalah merupakan sebuah
karya hasil dari pengalaman, pengembaraan, penjelajahan, dan pendalaman
al-Ghazali di dalam berbagai ilmu. Kitab
itu adalah hasil karya positif setelah ia ragu (syak) terhadap segala persoalan kepercayaan, dan pada akhirnya keraguan itu
sendiri sedikit demi sedikit hilang, berganti dengan keyakinan
Keistimewaan kitab ini adalah memuat semua ilmu-ilmu. Dalam kitab ini,
Al-Ghazali menyusun terdiri atas empat rubu’ (Perempatan) yaitu: Rubu’
(seperempat kitab tentang) ibadah, rubu’(seperempat kitab tentang) adat (kebiasaan),
rubu’ (seperempat kitab tentang) hal-hal yang membinasakan, rubu’ (seperempat kitab
tentang) hal-hal yang menyelamatkan. Alasan pembagian tersebut adalah karena
dua hal, yaitu: pertama, pembangkit asli, bahwa urutan dalam mentahkik dan
memahamkan adalah seperti daruri (sesuatu yang mesti) karena ilmu yang
diarahkan ke akhirat itu terbagi kepada ilmu mu’amalah dan ilmu mukasyafah.
Tujuan dari kitab ini adalah mu’amalah saja, bukan ilmu mukasyafah
yang tidak ringan untuk memasukkannya di dalam buku-buku meskipun itu menjadi
puncak tujuan para penuntut ilmu dan keinginan pandangan para siddiqin”.
DAFTAR PUSTAKA
Adimyathi, Sayyid Bakri, Kifayatul
Atqiyaa wa Minhaj al Syfiyaa, Semarang: Thoha
Putra, t.th.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Ihya’
‘Ulum ad-Din, Jld. I, Semarang: Thoha Putra, t.th.
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwanisi, Perbandingan
Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, Judul Asli: Dirasatun Muqāranatun fit-Tarbiyatil
Islamiyyah, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet. 2
Hasan, Sulaiman, Fathiyah, Sistem
Pendidikan versi al-Ghazali, terj.Fathur Rahman dan Syamsuddin Asyrafi,
Judul Asli: al-Madzhabut Tarbawi indal Ghazali, Bandung: Alma’arif,
1986, Cet. 1
[1] Fathiyah Hasan
Sulaiman, Sistem Pendidikan versi al-Ghazali, terj.Fathur Rahman dan
Syamsuddin Asyrafi, Judul Asli: al-Madzhabut Tarbawi indal Ghazali,(Bandung:
Alma’arif, 1986), Cet. 1, hal. 133
[2]Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld.
I, (Semarang: Thoha Putra, t.t.), hal.2
[3]Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld.
I, hal.3
[4] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld.
I, hal.4
[5] Ali
al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
terj. M. Arifin, Judul Asli: Dirasatun Muqāranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah,(Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), Cet. 2, hlm. 131.
[6] Sayyid Bakri Adimyathi, Kifayatul Atqiyaa wa
minhaj al Syfiyaa,
Semarang:
Thoha Putra, t.t., hal
98
[7] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld.
I, hal.5
[8] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Jld.
I, hal.4-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar