PENDIDIKAN FORMAL DALAM PERSPEKTIF TAFSIR
AL-QURAN
Makalah Tafsir Pendidikan
Dosen : Dr. Muhammad Hariyadi, MA
Disusun Oleh :
ASEP SUPRIATNA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN (PTIQ)
JAKARTA 1437 H/ 2016 M
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan
Islam sebagai institusi sosial mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
rangka mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam kepada pemeluknya, baik
secara individu maupun masyarakat. Secara metodologi, pendidikan Islam dituntut
agar mampu mensosialisasikan dan mengintegralisasikan nilai-nilai spiritual
kepada masyarakat, sekaligus mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat serta
mampu memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
umat manusia seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mengatasi
peroblema di atas, maka pendidikan Islam tidak ada alternatif lain kecuali
merujuk pada nilai-nilai dasar pendidikan Islam yakni al-Qur’an dan Hadis,
termasuk metode penerapannya. Namun agar tulisan ini lebih terarah dan
menghasilkan temuan yang lebih spesifikasi, maka tulisan ini hanya difokuskan
pada al-Qur’an.
“Pada
hakekatnya Al-Qur’an itu merupakan perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan
manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya merupakan kitab pendidikan kemasyarakatan, moril
(akhlak) dan spiritual (kerohanian).[1]
Secara historis, timbulnya lembaga-lembaga pendidikan formal
dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari
sistem pengajaran dan
pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah
berkembang dan dilengkapi sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan
pengajaran di dalamnya.[2]
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Bagaimanakah
Pendidikan formal dalam perspektif Tafsir al- Quran?
2)
Bagaimana
sistem pendidikan pada awal kemunculan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Formal
Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sehingga
pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam
membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang utama.[3]
Menurut bapak
pendidikan Indonesia (Ki Hajar Dewantara), pendidikan adalah daya upaya untuk
memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani
anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.[4] Selain
itu, menurut John Dewey dari segi hakikatnya, pendidikan berarti perkembangan
dari sejak lahir sampai menjelang kematian dan pendidikan juga berarti sebagai
kehidupan. “Education is growth, development and lie”. Pendidikan tidak
mempunyai tujuan dari luar dirinya, melainkan terdapat dalam pendidikan itu
sendiri.[5]
Pendidikan dalam Islam dikenal dengan beberapa istilah, At-Tarbiyah, At-Ta`lim,
At-Ta`dib, At-Tahzib, Al-Islah, At-Tath`hir, At-Tazkiyah, At-Tansyi`ah. Adapun At-Tarbiyah atau pendidikan dalam perspektif
Islam menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam kitabnya Usul
at-Tarbiyah al-Islamiyah adalah: 1) Mensucikan, mengembangkan, membersihkan dan mendekatkan setiap jiwa kepada
tuhannya, menjauhkannya dari segala bentuk kejahatan, dan menjaga fitrahnya.
Dan 2) Mendidik atau memindahkan ma`lumat dan aqidah kedalam akal dan
hati setiap mu`min, agar mereka amalkan dan realisasikan dalam prilaku dan
kehidudapan.[6] Dan
Formal adalah sesuai dengan
peraturan yang sah; menurut adat kebiasaan yang berlaku, resmi.[7]
Pendidikan
formal adalah pendidikan yang berstruktur hierarkis dan memiliki kelas yang berurutan dari Sekolah Dasar sampai Universitas yang termasuk
juga di dalamnya kegiatan tambahan bagi studi akademik umum dengan
bermacam-macam program juga lembaga khusus untuk pelatihan teknis dan
profesional. [8]
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Dari
pengertian tersebut kita tahu bahwa lembaga pendidikan formal adalah sekolah.
Karena proses belajarnya diadakan ditempat tertentu yaitu gedung sekolah,
secara teratur atau sistimatis, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-Kanak
sampai Perguruan Tinggi, berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
B.
Pendidikan Formal dalam Perspektif Tafsir Al Quran
Di dalam
Al-Qur’an tidak ada satu pun ditemukan kata yang secara langsung menunjukkan
pada arti pendidikan formal atau sekolah (madrasah). Akan tetapi hanya ada akar
dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam Al-Qur’an dijumpai
sebanyak 6 kali.
Kata-kata darasa
tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya
berarti mempelajari sesuatu (QS. Al-An’am (6): 105); mempelajari
Taurat (QS. Al-A’raf (7): 169); perintah agar mereka (ahli kitab)
menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (QS. Ali Imran (3):
79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat
dipelajari (QS. Al-Qalam (68): 37); informasi bahwa Allah tidak pernah
memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (QS. Saba’
(34): 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan
untuk semua orang (QS. Al-An’am (6): 165). Dari keterangan tersebut jelaslah
bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah
terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah
(sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan
semangat Al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar
mempelajari sesuatu. (Abudin Nata, 2005)
Namun kita
jumpai dalam al-Quran mengenai pendidikan formal. Seperti firman Allah dalam
surat at-Taubah ayat 122:
“tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”.
(Q.S. at-Taubah : 122)
Menurut Quraish
Shihab, ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan
informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah erat dengan
kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.[9]
Ayat ini menuntun kaum
muslimin untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi
orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju
medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersisa
lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan
yang bersifat mobolisasi umum “maka mengapa tidak pergi dari setiap
golongan”, yakni kelompok besar “diantara mereka beberapa orang” dari
golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga
mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga
untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi
anggota pasukan yang ditugaskan Rasul saw itu apabila nanti setelah
selesainya tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu telah
kembali kepada mereka yang memperdalam pengetahuan itu, supaya
mereka yang jauh dari Rasul saw karena tugasnya dapat berhati-hati dan
menjaga diri mereka.[10]
Tujuan utama ayat ini
adalah menggambarkan bagaimana seharusnya tugas-tugas dibagi sehingga tidak
semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja.[11]
Yang dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah mereka yang tinggal
bersama Rasul SAW. Dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan, sedang
mereka yang diberi peringatan adalah anggota pasukan yang keluar melaksanakan
tugas yang dibebankan Rasul SAW. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Menurut al
Maraghi, dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus
berangkat ke medan perang, bila peperangan itu
dapat di lakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian
tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi
harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu
dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang
lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan
dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan
untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat
disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat.Dengan
demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu,
karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara
yang berlainan.[12]
Quraish Shihab
berpendapat bahwa pengaitan tafaqquh (pendalaman pengetahuan itu) dengan
agama, adalah untuk menggarisbawahi tujuan pendalaman pengetahuan itu,
bukan dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya al-Qur’an bahkan tidak
diperkenalkan oleh Allah SWT. Al-Qur’an tidak membedakan ilmu. Ia tidak
mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum, kareana semua ilmu bersumber dari Allah
SWT. Yang diperkenalkannya adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia (acquired
knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia (ladunny
/ perennial).[13]
Sumber
ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah.
Manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama; sumber Ilahi
berupa wahyu, ilham maupun mimpi yang benar dan sumber manusiawi; jenis ilmu
pengetahuan dipelajari manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam
kehidupan, upaya mengamati, menelaah, dan memecahkan berbagai problem yang
dihadapi melalui ”Trial and Error” atau lewat pendidikan dan
pengajaran dari kedua orang tuanya, lembaga-lembaga pendidikan maupun
penelitian ilmiah.[14]
Menurut Hamka ayat
ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam
melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman
yang besar bilangannya, yang berintikan penduduk kota Madinah dan
kampung-kampung sekelilingnya. Dari golongan yang besar itu adakan satu
kelompok; cara sekarangnya suatu panitia, atau suatu komisi, atau satu dan
khusu’, yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka
berperang. Tugas mereka ialah memperdalam pengertian, penyelidikan dalam
soal-soal keagamaan.[15]
Artinya seorang
muslim perlu memperdalam ilmu agama dan mengajarkannya kepada orang lain
berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka
sehingga tidak memberikan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang ada
pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman. Salah
satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan belajar
di sebuah lembaga yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan atau istilah sekarang
sekolah formal.
Al-Maraghi juga berpendapat, ayat tersebut memberi
isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujub al tafaqqub fi al
din) serta menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk mempelajarinya
di dalam suatu negeri yang telah di dirikan serta
mengajarkanya pada menusia berdasarkan kadar yang diperkirakann dapat
memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak
mengetahui hukum-hukum agama yang apada umumnya yang harus dikerahui oleh
orang-orang yang beriman. Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian
dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam
perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah.[16]
Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, dapat kita jumpai
informasi bahwa misi pendidikan Islam terkait dengan dengan upaya
memperjuangkan, menegakkan, melindungi, mengembangkan, menyantuni, dan
membimbing tercapainya tujuan kehadiran agama bagi manusia. Misi pendidikan Islam juga dapat dilihat dari respond dan komitmen
ajaran Islam dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia saat
kedatangannya.[17]
Rasulullah
SAW pun mendidik umatnya secara bertahap, mula-mula kepada istri, karib kerabat
dan teman sejawatnya dengan sembunyi-sembunyi. Setelah banyak orang memeluk Islam, lalu Nabi menyediakan rumah
Al- Arqam bin Abil Arqam untuk tempat pertemuan sahabat-sahabat dan
pengikut-pengikutnya. Di tempat itulah pendidikan Islam pertama dalam sejarah
pendidikan Islam. Disanalah Nabi mengajarkan dasar-dasar atau pokok-pokok agama
Islam kepada sahabat-sahabatnya dan membacakan wahyu-wahyu (ayat-ayat) Al
Qur’an kepada para pengikutnya serta Nabi menerima tamu dan orang-orang yang
hendak memeluk agama Islam atau menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam.[18]
C.
Sistem Pendidikan Awal Kemunculan Islam
Berbicara tentang sistem
pendidikan Islam, hampir tidak dapat dipisahkan dari
sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam
yang menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Menurut
Abdurrahman Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga
menunjukkan jalan, show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan
inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya,
tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga
menjadi manusia-manusia baru.[19]
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang Makkah yang pandai
membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat jumlah orang yang pandai
baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati posisi sebagai
sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu, maka Nabi Muhammad
SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar baca-tulis di kuttab [20] pada orang-orang
Islam Makkah.[21]
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh orang-orang dzimmi,
Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa sahabat seperti al Hakam Ibn
Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab ketika Nabi Muhammad SAW berada
di Madinah.[22] Materi
yang diajarkan di kuttab periode Madinah ini tidak berbeda
dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran baca-tulis menjadi materi pokok bagi
pelajar yang ada di kuttab. Materi pelajaran baca-tulis ini
berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran membaca al Qur’an tidak
diberikan di kuttab, tetapi di Masjid dan di rumah-rumah. Namun
begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga diajarkan di kuttab.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka bertambah
pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam. Ketika itu kuttab-kuttab yang
hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru ternyata
sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin
banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua
untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses belajar
mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid atau
bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang selanjutnya disebut suffah. Menurut
sebagian ahli, suffah ini dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.[23]
Format lembaga pendidikan Islam yang lain dapat dilihat dari eksistensi madrasah yang sudah ada sejak
zaman klasik Islam dan sampai sekarang terus bertahan serta menampakkan
keajegannya (realibilitas) yang tinggi, yang bercirikan keagamaan. Sebagaimana diketahui, madrasah
sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M, khususnya
ketika wazir Bani Saljuk, Nidzam al Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di
Baghdad. Lembaga ini kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par
exellence dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam.[24]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas, bahwa pendidikan formal dalam persfektif al-Quran
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Al-Quran memberikan perhatian terhadap
pendidikan formal sebagaimana yang digambarkan al-Quran dalam surat at-Taubah
ayat 122. Menurut al-Quran seorang muslim perlu memperdalam ilmu agama dan
mengajarkannya kepada orang lain berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat
memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak memberikan mereka tidak
mengetahui hukum-hukum agama yang ada pada umumnya harus diketahui oleh
orang-orang yang beriman. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan belajar
di sebuah lembaga yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan atau istilah
sekarang sekolah formal.
2)
Dalam
al-Quran banyak terdapat kata-kata darasa yang merupakan akar kata
dari madrasah (sekolah). Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah
(sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan
semangat Al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar
mempelajari sesuatu dengan tatanan manajemen yang baik.
3)
Secara historis, timbulnya lembaga lembaga
pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan
pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung
di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi sarana-sarana
untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrafiq Dawam, Manajemen Madrasah Berbasis
Pesantren, Yogyakarta: Listafariska Putra, Cet. II, 2005
Departemen Agama Republik Indonesia. 2009, Al-Qur’an
Dan Tafsirnya. Jakarta: Depag.

Hamka, Tafsir
Al Azhar, Pustaka
Panjimas, Jakarta, Juz XI, 1984.
Hasan Asari, Menyingkap
Zaman Keemasan Islam, Bandung:
Mizan, 1994.
John Dewey dalam Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan
Barat,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012.
Kamil, Mustofa, Pendidikan Nonformal, Bandung: Alfabeta.
2009.
Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam, Membangun Intelektual Muslim yang
Tangguh. UMP: Purwokerto, .2009
al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi,
Beirut, Dar al-Fikr, t.th, jilid IV.
al-Nahlawi, Abdurrahman, Usul at-Tarbiyah
al-Islamiyah,
Damaskus, Darul Fikr, 1999.
Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005,
cet.I.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Slamet, Moh. Untung, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005
Shihab, M.
Quraish, Tafsir al Mishbah, Jakarta :
Lentera Hati, 2007, Vol. 2.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif,
Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Yunus, Mahmud,
Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: PT. Hidayakarya Agung. 1992.
Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, Solo:
Ramadhani, 1993.
[1]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hal.123
[2]
Zuhairin,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, Cet. V, 1997, hal. 100
[3]
Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani, 1993,
hal.9
[4] Ki Hadjar
Dewantara dalam Veithzal Rivai Zainal dan Fauzi Bahar, Islamic
Education Management, Dari Teori Ke Praktik, Mengelola Pendidikan Secara Profesional
Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Raja grafindo Persada,2013,
hal.71
[5] John Dewey
dalam Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat,Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2012, hal. 223
[8]
Mustofa Kamil, Pendidikan Nonformal, Bandung: Alfabeta. 2009, hal.10
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir
al Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2007, Vol.
2, hal. 751
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir
al Mishbah, Vol. 2, hal. 749-750
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir
al Mishbah, Vol. 2, hal. 750 -751
[14] Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Membangun
Intelektual Muslim yang Tangguh. UMP: Purwokerto, .2009, hal.96
[15] Hamka, Tafsir
Al Azhar, Pustaka
Panjimas, Jakarta, Juz XI, 1984, hlm. 87
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi,
Beirut, Dar al-Fikr, t.th, jilid IV, hlm.48.
[17] Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, cet.I. hal. 21-34.
[18] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidayakarya Agung. 1992. Hal. 6
[19]
Moh.
Untung Slamet, Muhammad Sang
Pendidik, Semarang: Pustaka
Rizki Putera, 2005, hal. 188
[20] Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada
awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan
pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi
Islam, Jilid III, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002, hal. 86
[21] Ahmad Syalabi, Sejarah
Pendidikan Islam, terj.
Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal. 34
[23] Moh. Untung Slamet, Muhammad Sang Pendidik, hal. 44
[24] Ainurrafiq Dawam, Manajemen Madrasah Berbasis
Pesantren, Yogyakarta: Listafariska Putra, Cet. II, 2005, hal. 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar