Jumat, 22 April 2016

Makalah Tafsir Pendidikan

PENDIDIKAN FORMAL DALAM PERSPEKTIF TAFSIR
AL-QURAN

Makalah Tafsir Pendidikan

Dosen : Dr. Muhammad Hariyadi, MA


Disusun Oleh :
ASEP SUPRIATNA



MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN (PTIQ)
 JAKARTA 1437 H/ 2016 M





BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Pendidikan Islam sebagai institusi sosial mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam kepada pemeluknya, baik secara individu maupun masyarakat. Secara metodologi, pendidikan Islam dituntut agar mampu mensosialisasikan dan mengintegralisasikan nilai-nilai spiritual kepada masyarakat, sekaligus mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat serta mampu memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mengatasi peroblema di atas, maka pendidikan Islam tidak ada alternatif lain kecuali merujuk pada nilai-nilai dasar pendidikan Islam yakni al-Qur’an dan Hadis, termasuk metode penerapannya. Namun agar tulisan ini lebih terarah dan menghasilkan temuan yang lebih spesifikasi, maka tulisan ini hanya difokuskan pada al-Qur’an.
“Pada hakekatnya Al-Qur’an itu merupakan perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya merupakan kitab pendidikan kemasyarakatan, moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian).[1]
Secara historis, timbulnya lembaga-lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.[2]
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)   Bagaimanakah Pendidikan formal dalam perspektif Tafsir al- Quran?
2)   Bagaimana sistem pendidikan pada awal kemunculan Islam?







BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan Formal
Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sehingga pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang utama.[3]
Menurut bapak pendidikan Indonesia (Ki Hajar Dewantara), pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.[4] Selain itu, menurut John Dewey dari segi hakikatnya, pendidikan berarti perkembangan dari sejak lahir sampai menjelang kematian dan pendidikan juga berarti sebagai kehidupan. “Education is growth, development and lie”. Pendidikan tidak mempunyai tujuan dari luar dirinya, melainkan terdapat dalam pendidikan itu sendiri.[5]
Pendidikan dalam Islam dikenal dengan beberapa istilah, At-Tarbiyah, At-Ta`lim, At-Ta`dib, At-Tahzib, Al-Islah, At-Tath`hir, At-Tazkiyah, At-Tansyi`ah. Adapun At-Tarbiyah atau pendidikan dalam perspektif Islam menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam kitabnya Usul at-Tarbiyah al-Islamiyah adalah: 1) Mensucikan, mengembangkan, membersihkan dan mendekatkan setiap jiwa kepada tuhannya, menjauhkannya dari segala bentuk kejahatan, dan menjaga fitrahnya. Dan 2) Mendidik atau  memindahkan ma`lumat dan aqidah kedalam akal dan hati setiap mu`min, agar mereka amalkan dan realisasikan dalam prilaku dan kehidudapan.[6] Dan Formal adalah sesuai dengan peraturan yang sah; menurut adat kebiasaan yang berlaku, resmi.[7]
Pendidikan formal adalah pendidikan yang berstruktur hierarkis dan memiliki kelas yang berurutan dari Sekolah Dasar sampai Universitas yang termasuk juga di dalamnya kegiatan tambahan bagi studi akademik umum dengan bermacam-macam program juga lembaga khusus untuk pelatihan teknis dan profesional. [8]
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Dari pengertian tersebut kita tahu bahwa lembaga pendidikan formal adalah sekolah. Karena proses belajarnya diadakan ditempat tertentu yaitu gedung sekolah, secara teratur atau sistimatis, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
B.  Pendidikan Formal dalam Perspektif Tafsir Al Quran
Di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun ditemukan kata yang secara langsung menunjukkan pada arti pendidikan formal atau sekolah (madrasah). Akan tetapi hanya ada akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam Al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali.
Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (QS. Al-An’am (6): 105); mempelajari Taurat (QS. Al-A’raf (7): 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (QS. Ali Imran (3): 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (QS. Al-Qalam (68): 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (QS. Saba’ (34): 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (QS. Al-An’am (6): 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu. (Abudin Nata, 2005)
Namun kita jumpai dalam al-Quran mengenai pendidikan formal. Seperti firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 122:

“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. at-Taubah : 122)
Menurut Quraish Shihab,  ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.[9]
Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobolisasi umum  “maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan”, yakni kelompok besar “diantara mereka beberapa orang” dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama  sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga  untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul saw itu apabila nanti setelah selesainya tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu telah kembali kepada mereka yang memperdalam pengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari Rasul saw karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.[10]
Tujuan utama ayat ini adalah menggambarkan bagaimana seharusnya tugas-tugas dibagi sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja.[11]
Yang dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan  adalah mereka yang tinggal bersama Rasul SAW. Dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan, sedang mereka yang diberi peringatan adalah anggota pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul SAW. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Menurut al Maraghi, dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat di lakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat.Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan.[12]
Quraish Shihab berpendapat bahwa pengaitan tafaqquh (pendalaman pengetahuan itu) dengan agama, adalah untuk menggarisbawahi tujuan pendalaman pengetahuan itu, bukan dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya al-Qur’an bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah SWT. Al-Qur’an tidak membedakan ilmu. Ia tidak mengenal istilah ilmu agama dan ilmu umum, kareana semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Yang diperkenalkannya adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia (acquired knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia (ladunny / perennial).[13]
Sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama; sumber Ilahi berupa wahyu, ilham maupun mimpi yang benar dan sumber manusiawi; jenis ilmu pengetahuan dipelajari manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, upaya mengamati, menelaah, dan memecahkan berbagai problem yang dihadapi melalui ”Trial and Error” atau lewat pendidikan dan pengajaran dari kedua orang tuanya, lembaga-lembaga pendidikan maupun penelitian ilmiah.[14]
Menurut Hamka ayat ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilangannya, yang berintikan penduduk kota Madinah dan kampung-kampung sekelilingnya. Dari golongan yang besar itu adakan satu kelompok; cara sekarangnya suatu panitia, atau suatu komisi, atau satu dan khusu’, yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka berperang. Tugas mereka ialah memperdalam pengertian, penyelidikan dalam soal-soal keagamaan.[15]
Artinya seorang muslim perlu memperdalam ilmu agama dan mengajarkannya kepada orang lain berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak memberikan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang ada pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan belajar di sebuah lembaga yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan atau istilah sekarang sekolah formal.
Al-Maraghi juga berpendapat, ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama (wujub al tafaqqub fi al din) serta menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah di dirikan serta mengajarkanya pada menusia berdasarkan kadar yang diperkirakann dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang apada umumnya yang harus dikerahui oleh orang-orang  yang beriman. Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan Allah.[16]
Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, dapat kita jumpai informasi bahwa misi pendidikan Islam terkait dengan dengan upaya memperjuangkan, menegakkan, melindungi, mengembangkan, menyantuni, dan membimbing tercapainya tujuan kehadiran agama bagi manusia. Misi pendidikan Islam juga dapat dilihat dari respond dan komitmen ajaran Islam dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia saat kedatangannya.[17]
Rasulullah SAW pun mendidik umatnya secara bertahap, mula-mula kepada istri, karib kerabat dan teman sejawatnya dengan sembunyi-sembunyi. Setelah banyak orang memeluk Islam, lalu Nabi menyediakan rumah Al- Arqam bin Abil Arqam untuk tempat pertemuan sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya. Di tempat itulah pendidikan Islam pertama dalam sejarah pendidikan Islam. Disanalah Nabi mengajarkan dasar-dasar atau pokok-pokok agama Islam kepada sahabat-sahabatnya dan membacakan wahyu-wahyu (ayat-ayat) Al Qur’an kepada para pengikutnya serta Nabi menerima tamu dan orang-orang yang hendak memeluk agama Islam atau menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam.[18]
C.  Sistem Pendidikan Awal Kemunculan Islam
Berbicara tentang sistem pendidikan Islam, hampir tidak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam yang menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Menurut Abdurrahman Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga menunjukkan jalan,  show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya, tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga menjadi manusia-manusia baru.[19]
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang Makkah yang pandai membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat jumlah orang yang pandai baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati posisi sebagai sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu, maka Nabi Muhammad SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar baca-tulis di kuttab [20] pada orang-orang Islam Makkah.[21]
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh orang-orang dzimmi, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa sahabat seperti al Hakam Ibn Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah.[22] Materi yang diajarkan di kuttab periode Madinah ini tidak berbeda dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran baca-tulis menjadi materi pokok bagi pelajar yang ada di kuttab. Materi pelajaran baca-tulis ini berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran membaca al Qur’an tidak diberikan di kuttab, tetapi di Masjid dan di rumah-rumah. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga diajarkan di kuttab.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam. Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru ternyata sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses belajar mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid atau bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang selanjutnya disebut suffah. Menurut sebagian ahli, suffah ini dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.[23]
Format lembaga pendidikan Islam yang lain dapat dilihat dari eksistensi madrasah yang sudah ada sejak zaman klasik Islam dan sampai sekarang terus bertahan serta menampakkan keajegannya (realibilitas) yang tinggi, yang bercirikan keagamaan. Sebagaimana diketahui, madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M, khususnya ketika wazir Bani Saljuk, Nidzam al Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad. Lembaga ini kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par exellence dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam.[24]



BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, bahwa pendidikan formal dalam persfektif al-Quran dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)   Al-Quran memberikan perhatian terhadap pendidikan formal sebagaimana yang digambarkan al-Quran dalam surat at-Taubah ayat 122. Menurut al-Quran seorang muslim perlu memperdalam ilmu agama dan mengajarkannya kepada orang lain berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak memberikan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang ada pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan belajar di sebuah lembaga yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan atau istilah sekarang sekolah formal.
2)   Dalam al-Quran banyak terdapat kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah (sekolah). Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu dengan tatanan manajemen yang baik.
3)   Secara historis, timbulnya lembaga lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ainurrafiq Dawam,  Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Yogyakarta: Listafariska Putra, Cet. II, 2005
Departemen Agama Republik Indonesia. 2009, Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jakarta: Depag.
Dewantara, Ki Hadjar, dalam  Veithzal Rivai Zainal dan Fauzi Bahar, Islamic Education Management, Dari Teori Ke Praktik, Mengelola Pendidikan Secara Profesional Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Raja grafindo Persada,2013.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, Juz XI, 1984.
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994.
John Dewey dalam Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012.
Kamil, Mustofa, Pendidikan Nonformal, Bandung: Alfabeta. 2009.
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Membangun Intelektual Muslim yang Tangguh. UMP: Purwokerto, .2009
al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut, Dar al-Fikr, t.th, jilid IV.
al-Nahlawi, Abdurrahman, Usul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Damaskus, Darul Fikr, 1999.
Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, cet.I.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Slamet, Moh. Untung, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005
Shihab, M. Quraish, Tafsir al Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2007, Vol. 2.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidayakarya Agung. 1992.
Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani, 1993.





[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hal.123
[2] Zuhairin,  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 1997, hal. 100
[3] Zuhairini, dkk. Metodologi Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani, 1993, hal.9
[4] Ki Hadjar Dewantara dalam  Veithzal Rivai Zainal dan Fauzi Bahar, Islamic Education Management, Dari Teori Ke Praktik, Mengelola Pendidikan Secara Profesional Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Raja grafindo Persada,2013, hal.71
[5] John Dewey dalam Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 223
[6] Abdurrahman al-Nahlawi, Usul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Damaskus, Darul Fikr, 1999,  hal. 171
[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI V1.1 Software Komputer)
[8] Mustofa Kamil, Pendidikan Nonformal, Bandung: Alfabeta. 2009, hal.10
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2007, Vol. 2, hal. 751
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Vol. 2, hal. 749-750
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Vol. 2, hal. 750 -751
[12]Dapartemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Tafsirnya. Jakarta: Depag, 2009,  hal.133
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Vol. 2, hal. 707
[14] Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Membangun Intelektual Muslim yang Tangguh. UMP: Purwokerto, .2009, hal.96
[15] Hamka, Tafsir Al Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, Juz XI, 1984, hlm. 87
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, Beirut, Dar al-Fikr, t.th, jilid IV, hlm.48.
[17] Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, cet.I. hal. 21-34.
[18] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidayakarya Agung. 1992. Hal.  6
[19] Moh. Untung Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005, hal. 188
[20] Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002, hal. 86
[21] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal. 34
[22] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994, hal. 24
[23] Moh. Untung Slamet, Muhammad Sang Pendidik,  hal. 44
[24] Ainurrafiq Dawam, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Yogyakarta: Listafariska Putra, Cet. II, 2005, hal. 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar