TAFSIR AL-QURAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Usia lanjut adalah suatu kejadian
yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya
tidak bisa dihindari oleh siapapun. Istilah untuk manusia yang usianya sudah
lanjut belum ada yang baku. Orang sering menyebutnya manusia usia
lanjut ( manula), lanjut usia ( lansia), ada yang
menyebut golongan lanjut umur ( glamur), usia lanjut (usila),
bahkan di Inggris menyebutnya dengan istilah dengan warga negara senior.
Namun dalam Islam masa ini disebut syaikh.
Konsep pembelajaran dalam Islam
bahwa belajar tidak mengenal usia, sesuai dengan hadis yang ada pada landasan
diatas. Maka sesunggunya pada usia ini seseorang harus tetap belajar, yang
tentunya dilakukan dalam keluarga. Pada masa ini orang tua bisa belajar pada
anak-anaknya atau pada masa ini orang tua memberikan pembeljaran pada
anak-anaknya. Karena sesunggunya belajar sepanjang hayat bukan hanya belajar
tapi juga memberikan pembelajaran. Orang tua yang memilki banyak ilmu maka ia
akan semakin bijak dalam mengambil keputusan dalam setiap masalah yang dihadapi
dalam hidupnya.
Mempunyai umur diatas 60 tahun
adalah sebuah anugrah, tetapi sekaligus suatu cobaan. Mengapa demikian, karena
sesuai sabda nabi Muhammad SAW : “ Sebaik-baiknya kamu ialah orang yang
panjang umur dan panjang pula amalnya”. ( HR. At-Tirmizdi). Sehingga orang
yang dikaruniai usia panjang dikatakan mendapat anugrah karena masih diberi
kesempatan oleh Allah untuk banyak beramal dan beribadah kepadaNya, dan
mendapat suatu cobaan karena pada saat usia lanjut, tubuh manusia semakin
rapuh, mudah terserang penyakit, dan lain-lain, sehingga intensitas
dalam beramal dan beribadah kepada Allah semakin berkurang.
B.
Rumusan
Masalah
Bagaimana Pendidikan Usia Lanjut menurut perspektif Tafsir
Al-Quran?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Lanjut Usia
Secara teoritis, usia tua dimulai
antara 60/65 tahun sampai meninggal.[1] Usia
ini merupakan periode yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia
ini digambarkan dalam al-Hadits yang artinya sebagai berikut “Masa penilaian
umur umatku adalah 60 hingga 70”. (HR Muslim dan Nasai’). Mereka
berkata : “ Ya Rasulallah, berapakah ketetapan umur-umur umatmu
?” jawab Rasulullah : “Tujuh Puluh” mereka bertanya lagi
: “Ya Rasulallah bagaiman dengan umur delapan puluh?” dan
jawab beliau : “ Sedikit sekali umatku yang dapat mencapainya. Yang Semoga
Allah merahmati orang-orang yang mencapai delapan puluh”. (HR
Hudzaifah Ibn Yamani).[2]
Lansia adalah usia selepas usia
dewasa, kalau usia dewasa umur kira-kira 20/21 tahun sampai 40
tahun, maka lanjut adalah usia 41 tahun keatas sampai meninggal dunia. DR.
Sarlito W Sarwono membagi kehidupan tua menjadi tiga periode , yaitu periode
virilitas, pra semenium, dan senectus. Masing-masing periode tahap itu
mempunyai ciri-ciri atau karaktreristik sendiri-sendiri.
1.
Tahap
Virilitas (40-55 tahun)
Tahap ini adalah masa kritis dan
dikenal dengan istilah remaja kedua. Pria pada tahap ini sudah mencapai segala
sesuatu yang dicita-citakan. Kedudukan, uang, keluarga dan sebagainya. Ia sudah
membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia memang pria sejati. Tetapi pada saat
yang pula proses penuaan melanda dirinya. Berbagai penyakit mulai menyerang,
dan perubahan fisik juga mulai terjadi.[3]
2.
Tahap
Pra Semenium ( 55-65 tahun)
Usia ini merupakan usia pensiun.
Laki-laki kehilangan pekerjaannya, status sosialnya, fasilitas, materi,
anak-anak (sudah besar dan pergi dari rumah)dan sebagainya. Teman-teman dan
relasinya tidak mengunjunginya. Ia jadi kesepian. Bersamaan dengan itu
kesehatannya akan makin mundur. Khususnya pada laki-laki yang tidak
mempersiapkan diri dengan baik pada tahapan virilitas, tahap ini menyebabkan
depresio ( tekanan jiwa) dan apatio ( lebih senang dan
melamun).
3.
Tahap
Senectus ( diatas 65 tahun)
Orang-orang yang sukses
dalam tahapan virilitas biasanya tenang pula memasuki tahap yang terakhir ini.
Kondisi kesehatan mereka tidak banyak terganggu, sehingga usia mereka bertambah
panjang. Yang penting adalah bahwa pada tahap ini seorang pria harus bisa
melihat dunianya dari sudut positif , melihat dari segi-segi baiknya. Kemampuan
ini hanyalah dapat diperoleh “ melalui latihan dan persiapan yang lama”.
Yang paling tidak disukai oleh pria pada usia senectus
adalah banyaknya teman-teman yang meninggal dunia satu persatu.[4]
Menurut Saparinah Sadli, istilah
usia melewati umur40 tahun wanita mengalami beberapa hal anatara lain:[5]
1)
Dalam
diri wanita ditinjau dari teori psikoanalisa terjadinya perubahan psikologi
yang disebut juga perubahan kehidupan, perubahan itu meliputi perubahan
jasmaniah ( mudah menjadi gemuk, lebih cepat capai, haid mulai tidak teratur,
dan lain sebagainya), perubahan dalam gaya hidup dan peranannya, dan sering
kali perubahan persepsi orang lain mengenai dirinya ( oleh suami, anak, mertua,
misalnya dikatakan sekarang ini cerewet, suka ikut campur urusan orang lain,
dan lain sebagainya).
2)
Perubahan
lain ialah datangnya menopause yang merupakan suatu manifestasi kemampuan
reproduktifnya telah berakhir.
Pada waktu menopause ini, mulai muncul tanda-tanda ketuaan seperti
keriput pada wajah, terjadinya kantung mata, tumbuhnya uban, dan
sebagainya.Pada saat ini pula sebagian wanita mengalami depresi yaitu gangguan
jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merasa seperti muram,
sedih, perasaan tertekan.[6]
Berkenaan dengan landasan belajar
bagi usia lanjut, maka konsep pendidikan sepanjang hayat ( life
long education) dapat dijadikan sebagai landasan. Seperti dikemukakan oleh
D. Sudjana berikut ini:
“ Pendidikan sepanjang hayat dapat dijabarkan kedalam
program-program pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dalam
prakteknya program-program dalam jalur pendidikan luar sekolah dipandang oleh
sebagian pakar pendidikan lebih mampu mengembangkan kehadirannya
untuk mengkondisikan tumbuhnya kesadaran, minat dan semangat
masyarakat untuk melaksanakan kegiatan belajar yang berkesinambungan”.
Memperhatikan pendapat ahli diatas,
pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu proses pendidikan khususnya dalam
hal ini warga belajar usia lanjut, agar mereka dapat mengembangkan dirinya
sesuai dengan tuntutan kebutuhan, perkembangan dan lingkungan sekitar.
Jika dilihat dari karakteristik pendidikan sepanjang hayat yang
dikemukakan oleh Dave dalam bukunya Life Long Education and School
Curriculum, maka diperoleh gambaran bahwa : pendidikan usia lanjut
merupakan pendidikan yang diberikan bagi warga belajar usia lanjut. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan tidak terbatas pada usia dan berakhir pada saat
berakhirnya pendidikan sekolah, akan tetapi merupakan proses sepanjang hayat
yang mencakup keseluruhan waktu hidup seseorang atau sekelompok orang (warga
belajar usia lanjut).[7]
B.
Pendidikan
Usia Lanjut Perspektif Tafsir Al-Quran
Sebenarnya prinsip pendidikan seumur
hidup bukanlah hal yang baru di kalangan umat Islam. Ungkapan seperti
“tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” merupakan pepatah yang cukup
populer sejak periode Islam. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan
mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana manusia
sepanjang hidupnya dihadapkan kepada berbagai tantangan dan godaan yang dapat
menjerumuskan dirinya ke jurang kehinaan.[8]
Dalam hal ini dituntut kedewasaanm manusia berupa kemampuan untuk
mengakui dan menyesali kesalahan yang telah dilakukan, di samping itu selalu
memperbaiki kualitas dirinya.
Mengenai pendidikan usia lanjut, disinggung dalam Firman Allah
surat az-Zumar ayat 9, yang berbunyi:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3
ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3
$yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.”
Menurut al Maraghi, perkataan tersebut
dinyatakan dengan susunan pertanyaan (istifham) untuk menunjukkan bahwa
orang-orang yang mencapai derajat kebaikan tertinggi; sedang yang lain jatuh ke
dalam jurang keburukan. Dan hal itu tidaklah sulit dimengerti oleh orang-orang
yang sabar dan tidak suka membantah. Kemudian, Allah SWT menerangkan bahwa hal
tersebut hanyalah dapat dipahami oleh orang-orang yang mempunyai akal.
Karena orang-orang yang tidak tahu seperti telah disebutkan dalam hati
mereka terdapat tutupsehingga tidak dapat memahami suatu nasehat dan tidak
berguna bagi mereka suatu peringatan. Firman-Nya :
$yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
Sesungguhnya yang dapat
mengambil pelajaran dari hujjah-hujjah Allah dan dapat menuruti nasehat-Nya dan
dapat memikirkannya, hanyalah orang-orang yang mempunyai akal dan pikiran yang
sehat, bukan orang-orang yang bodoh dan lalai. Pelajaran yang dimaksud dapat
berasal dari pengalaman hidupnya atau daritanda-tanda kebesaran Allah yang
terdapat di alam semesta beserta isinya, atau yang terdapat dalam dirinya serta
kisah-kisah umat yang lalu.
Dari uraian diatas dapat kita
simpulkan bahwa orang-orang yang berakal dan berfikiran sehat akan mudah
mengambil pelajaran, dan orang-orang yang seperti itu akan memiliki akal
pikiran sehat serta iman yang kuat.[9]
Dengan demikian belajar itu hukumnya wajib selama masih memiliki akal dan
fikiran.
Dalam Tafsir Departemen Agama
Republik Indonesia, Perintah yang sama diberikan Allah
kepada Rasul Nya agar menanyakan kepada mereka apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Yang dimaksud dengan orang-orang yang
mengetahui ialah orang-orang yang mengetahui pahala yang akan diterimanya,
karena amal perbuatannya yang baik, dan siksa yang akan diterimanya apabila ia
melakukan maksiat. Sedangkan orang-orang yang tidak mengetahui ialah
orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui hal itu, karena mereka tidak
mempunyai harapan sedikutpun akan mendapat pahala dari perbuatan baiknya, dan
tidak menduga sama sekali akan mendapat hukuman dan amal buruknya.
Di akhir ayat Allah SWT menyatakan
bahwa orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran, baik
pelajaran dari pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang
terdapat di langit dan di bumi serta isinya, juga terdapat pada dirinya atau
suri teladan dari kisah umat yang lalu.[10]
Mengenai pendidikan usia lanjut, disinggung juga dalam Firman Allah
surat al-Maidah ayat 39:
`yJsù z>$s? .`ÏB Ï÷èt/ ¾ÏmÏHø>àß yxn=ô¹r&ur cÎ*sù ©!$# ÛUqçGt Ïmøn=tã 3 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÌÒÈ
“Maka Barangsiapa bertaubat (di antara
pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka
Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (QS. al-Maidah:
39)
Sesungguhnya prinsip ini bersumber
dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan
manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai
tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehinaan.
Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan
menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki
kualitas dirinya.
Al Qur’an sendiri dalam surat Al Kahfi,109. yang artinya : “katakanlah (Muhammad), “seandainya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum
selesai( penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula).”
Ayat di atas menyatakan demikian itu
tiada batas nikmat Tuhan dapat kita menghitungnya. Semakin kita mempelajari
ilmu pengetahuan, maka semakin luas pengetahuan kita. Namun semakin pula kita
tahu begitu banyak yang tidak kita ketahui.
Menurut Ibn ‘Abbas, Ayat ini diturunkan berkaitan dengan
pernyataan (sabda) Nabi saw ; وما اتيم العلم الا قليلا yang disampaikan kepada
orang-orang Yahudi. Mendengar per-nyataan ini mereka bertanya: Bagaimana kami diberikan ilmu sedikit, padahal kami
telah diberikan kitab Taurat. Dari kasus ini, turunlah ayat 109 dari QS.
al-Kahfi.[11]
Dari ayat di atas kita perlu
bercermin, ilmu pengetahuan yang kita miliki sekarang hanyalah sedikit sekali
dari yang telah digariskan Allah SWT. Nikmat yang dilimpahkannya tidak dapat
kita ukur dengan pengetahuan kita. Sekali-kali kita patut menginstrospeksi
siapa dan bagaimana kita. Cukupkah yang kita miliki menjadi tujuan hidup kita?
Kemana kita akan kembali setelah kehidupan ini berakhir?
Pertanyaan ini mesti hadir dalam
diri manusia untuk mengetahui jati dirinya. Kehidupan kita tidaklah berhenti
sampai menamatkan Sarjana (S1) dan (S2) saja, tidak pula sampai berumah tangga
dan mempunyai banyak anak. Kehidupan memang bergulir demikian. Namun, untuk apa
kita berpendidikan? Untuk apa kita berkeluarga?
Bila kita mau mengheningkan pikiran
usai melaksanakan shalat malam. Berhentilah sejenak untuk menjernihkan pikiran.
Tanyalah pada diri sendiri siapa diri ini dan hendak kemana? Ini memungkinkan
kita untuk memperoleh petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Disaat inilah suasana hening
bening menyapu malam. Ketika itu malaikat-Nya menyusuri malam mencari dimana
seorang soleh bertafakur mengharap ampunan dan petunjuk Ilahi.
Kewajiban mencari
ilmu itu tidak memandang batasan usia, melainkan seumur hidup. Ada pun Sabda
Nabi SAW:
(رواه
مسلم) الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْد
أُطْلُبُوا
“Carilah ilmu itu sejak dari ayunan sampai
masuk ke liang lahat”(HR. Muslim)
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)
Lansia adalah usia
selepas usia dewasa, kalau usia dewasa umur kira-kira 20/21 tahun
sampai 40 tahun, maka lanjut adalah usia 41 tahun keatas sampai meninggal
dunia. Berkenaan dengan landasan belajar bagi usia lanjut, maka konsep
pendidikan sepanjang hayat (life long education) dapat
dijadikan sebagai landasan, Karena pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu
proses pendidikan khususnya dalam hal ini warga belajar usia lanjut, agar
mereka dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan kebutuhan, perkembangan
dan lingkungan sekitar.
2)
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa orang-orang
yang berakal dan berfikiran sehat akan mudah mengambil pelajaran, dan
orang-orang yang seperti itu akan memiliki akal pikiran sehat serta iman yang
kuat. Dengan demikian belajar itu hukumnya wajib selama masih memiliki akal dan
fikiran.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Husayn al-Wahidiy, Asbab al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1991
Ahmad Mustafa Al-Maraghi. Terjemah Tafsir Al-Maraghi.
(Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993
Departemen
Agama Republik Indonesia, Tafsir Depag, Jilid VIII
M Muliono, Anton, Dkk. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen P & K dan Balai Pustaka. 1991.
Mappiere, Andi. Psikologi Orang
Dewasa Bagi Penyesuaian dan Pendidikan.Surabaya: Usaha Nasional.1983.
Purwakania Hasan, Aliah
B. Psikologi Perkembangan Islami.Jakarta: Raja Grafindo Persada.2006.
Saparina Sadli, Kondisi
Psikologis Wanita Usia Remaja, Jakarta : Sinara Harapan, 1991
W Sarwono, Sarlito,
DR. Perkembangan Jiwa Pria dalam Diatas 40 Tahun.Jakarta: Sinar Harapan.
1991.
http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN/ SUPRAYOGI/Pendidikan/ Usia
Lanjut.pdf.29/11/2010
[1] Andi
Mappiere, Psikologi Orang Dewasa Bagi Penyesuaian dan Pendidikan,(Surabaya:
Usaha Nasional,1983),hlm.238.
[2] Aliah B.
Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami,( Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2006), hlm. 117.
[3] DR Sarlito W
Sarwono, Perkembangan Jiwa Pria dalam Diatas 40 Tahun,( Jakarta:
Sinar harapan. 1991 ),hlm.40-41.
[4] Sarlito W
Sarwono, Perkembangan Jiwa Pria dalam Diatas 40 Tahun, Jakarta:
Sinar harapan. 1991 ,hlm.42
[5] Saparina
Sadli, Kondisi Psikologis Wanita Usia Remaja, Jakarta : Sinara Harapan, 1991, hlm.28
[6] Anton M
Muliono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Departemen P
& K dan Balai Pustaka, 199, hlm. 225.
[7]http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN/ SUPRAYOGI/Pendidikan/ UsiaLanjut.pdf.29/11/2010
[8]
Munzier Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, Yogyakarta: LKIS,
2003, hlm. 28
[9] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi. Terjemah Tafsir
Al-Maraghi. Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993, hal. 277-279.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Tafsir
Depag, Jilid VIII , h. 416
[11] Abu Husayn al-Wahidiy, Asbab
al-Nuzul (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hal. 4.