JURNAL
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM
Asep Supriatna
Mahasiswa Pascasarjana
Manajemen Pendidikan Islam
Program Pascasarjana Fakultas Tarbiyah
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ)
Jakarta
Abstrak
Lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren
itu tumbuh dari bawah, dari gagasan tokoh-tokoh agama setempat. Model manajemen
lembaga pendidikan Islam ialah model yang dapat dipelajari dan diterapkan agar
lembaga pendidikan bisa berkembang dan tentunya dapat diperhitungkan oleh
lembaga pendidikan non Islam. Diawali dari pengajian yang lantas mendirikan
mushalla/masjid, madrasah diniyah, dan kemudian mendirikan pesantren atau
madrasah.
Embrio pendidikan Islam adalah Masjid. Manajemen pendidikan Islam
yang berbasis masjid adalah manajemen yang dijiwai oleh nilai dan semangat
spiritual, semangat berjamaah, semangat ihlas lillahi ta’ala (ihlas
karena Allah) dan semangat memberi yang hanya berharap pada ridlo Allah.
Diawali dari pengajian yang lantas mendirikan mushalla/masjid,
madrasah diniyah, dan kemudian mendirikan pesantren atau madrasah.
Sebagian besar tumbuh dan berkembang dari kecil dan kondisinya serba terbatas.
Selanjutnya ada yang tubuh dan berkembang dengan pesat atau
mengalami continuous quality improvement, ada juga
yang stagnant (jalan di tempat) dan ada pula yang tidak
bisa stagnant. Bagi yang terus berkembang hingga mampu mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan umum dan perguruan tinggi, didukung oleh usaha-usaha
lain yang bersifat profit seperti pertanian, perdagangan, percetakan, industri
jasa dan lain sebagainya.
Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai
tambah. Sejalan dengan pemikiran ini, inti manajemen partisipatif yang dituntut
dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pembuatan keputusan secara
parsitipatif. Berdasarkan lapak tilas sejarahnya, lembaga-lembaga pendidikan
Islam khususnya madrasah dan pesantren itu tumbuh dari bawah, dari gagasan
tokoh-tokoh agama setempat.
Kata
kunci :
pengembangan, manajemen, pendidikan Islam
Pendahuluan
Perubahan dan
inovasi merupakan kata kunci dan titik tolak dalam mengembangkan pendidikan.
Begitu juga untuk membangun suatu model pendidikan Islam yang baru untuk dapat
menjawab persoalan yang dihadapi umat. Hal ini didasarkan pada realitas
pendidikan saat ini yang belum mampu menghasilkan manusia yang berakses pada
upaya membangun peradaban. Maka perlu dicari sistem pendidikan alternatif
sebagai “sintesa”dari berbagai system pendidikan yang pernah ada.
Melihat kalimat ‘Manajemen
Lembaga Pendidikan Islam’ tentunya dari katanya saja sudah mempunyai lekatan
makna yang menjurus pada yayasan, pesantren, madrasah, STAI, UIN, PTIQ dan
sebagainya. Dari tahun-ketahun, institusi ini terus mencetak alumni-alumninya
yang mempunya keahlian diberbagai bidang yang tentunya bidang keagamaan. Namun
seberapa besarkah alumninya tersebut mampu menguasai dunia global saat ini.
Terlepas dari kasusnya
(terjaring kasus oleh KPK) cukup menarik
apa yang dikatakan oleh Menteri Agama pada masa Presiden SBY tersebut yaitu Surya Darma Ali. Beliau mengatakan:
apa yang dikatakan oleh Menteri Agama pada masa Presiden SBY tersebut yaitu Surya Darma Ali. Beliau mengatakan:
“Indonesia memiliki 614 pendidikan tinggi
Islam. Namun, pendidikan tinggi Islam ini masih memiliki beberapa kelemahan.
Antara lain, belum terintegrasinya sistem pendidikan dari strata 1 hingga
strata 3. Pendidikan tinggi Islam juga masih kurang memiliki manajemen
pengelolaan yang maksimal. Juga masih memiliki sisi pembiayaan yang
minimal. Secara teknis masalah yang selalu dirundung lembaga pendidikan
Islam adalah soal isu relevansinya dengan sistem pendidikan sekolah, standar
pendidikan yang belum sama, serta mutu tenaga pendidik yang masih kurang.”[1]
Kalimat yang penulis
berikan tanda bold, mungkin menjadi tugas besar kaum intelektual saat
ini khususnya yang bergerak di dunia pendidikan untuk mengetahui konsep-konsep
dasar atau model-model pengembangan manajemen. Agar instiusi tidak hanya
sekedar mengeluarkan ijazah tetapi yang lebih penting lagi mampu melakukan
rekonstruksi pendidikan Islam ke arah yang lebih positif dan minimal dimulai
dari manajemen yang efisien dan efektif.
Oleh sebab itu,
penulis mencoba untuk menyajikan untaian lembaran pembahasan yang berkenaan
dengan Model Pengembangan Manajemen Pendidikan Islam.
Pengertian Model Pengembangan Manajemen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata model
memiliki banyak arti diantaranya, pola (contoh, acuan, ragam, dan
sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan, atau orang
yang dipakai sebagaicontoh untuk dilukis (difoto).[2]
Sedangkan kata manajemen, menurut Kamus
Bahasa Indonesia berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai
sasaran. Sedangkan manajer ialah pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya
perusahaan dan organisasi.[3]
Manajemen pendidikan adalah suatu usaha
penerapan prinsip-prinsip dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan pada
lembaga-lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien.[4]
Sedangkan
makna pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan
nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan,
bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya guna mencapai
keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[5]
Manajemen pendidikan berasal dari
aktivitas lembaga pendidikan yang mencakup pengelolaan aktivitas
pengajaran, kepemimpinan dan berbagai aturan, perencanaan, prosedur pelaksanaan
dan manajemen pengawasan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manajemen
pendidikan merupakan proses penerapan prinsip dan teori manajemen dalam
pengelolaan kegiatan di lembaga pendidikan formal untuk mengefektifkan
pencapaian tujuan pendidikan.[6]
Dengan demikian pembahasan ini berkenaan
dengan sejauh mana pola manajemen yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan
Islam.
Inovasi Manajemen Pendidikan
Inti kegiatan manajemen pendidikan
persekolahan adalah pembuatan keputusan untuk peningkatan mutu kinerja sekolah.
Sejalan dengan pemikiran ini, inti manajemen partisipatif yang dituntut dalam
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pembuatan keputusan secara
parsitipatif. Keputusan dalam bidang manajemen itu berasal dari manusia secara
melembaga dan untuk kepentingan manusia yang melembaga pula atau yang mempunyai
kepentingan dengan lembaga tersebut.[7]
Dilihat dari konsep inovasi, pembuatan
keputusan sebagai inti manajemen pendidikan mengandung makna keputusan inovatif
jika keputusan dibuat dan dianggap baru oleh pihak-pihak yang berkepentingan
dengan keputusan itu. Mengikuti proses pengembangan inovasi (innovation-development
process), inovasi dalam bidang manajemen pendidikan dapat dilakukan dengan
menempuh proses sebagai berikut:[8]
1. Recognizing a
problem or need
Inovasi manajemen pendidikan diawali
dengan adanya masalah atau kebutuhan untuk meningkatkan mutu manajemen sekolah
secara lebih baik.
2. Penelitian (Research)
Umumnya penelitian dilakukan melalui
eksperimentasi terapan. Adakalanya juga dilakukan dalam bentuk penelitian
kebijakan atau policy research.
3. Pengembangan
Penelitian dan pengembangan (research and
development) mempunyai kaitan yang sangat erat. Kegiatan pengembangan harus
didasari atas hasil penelitian.
4. Komersialisasi (commercialization)
Dalam bidang manajemen pendidikan tidak
dipersepsi sebagai komersialisasi dalam bidang bisnis.
5. Deffusion and
adoption (difusi
dan adopsi)
Merupakan aspek yang sangat esensial
dalam keseluruhan aktivitas pengembangan inovasi, yaitu keputusan untuk mulai
mendifusikan inovasi kepada adaptor potensial sehingga terjadinya proses adopsi
perlu dilakukan sesegera mungkin setelah produk inovasi itu dipaket.
6. Konsekuensi (concequences)
Dari proses pengembangan inovasi adalah konsekuensi dari inovasi.
Di sini akan diketahui apakah masalah/kebutuhan yang muncul diawal akan
benar-benar dapat dipecahkan melaui suatu inovasi. Inovasi diawali oleh masalah
atau kebutuhan dan umumnya diakhiri dengan masalah atau kebutuhan baru. Oleh
karena itu, inovasi membentuk suatu siklus.
Model Pengembangan Manajemen Pendidikan
Islam
Sejak dekade 90-an, kesadaran umat
untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam mulai bangkit dimana-mana dan
beberapa di antaranya telah mampu menjadi sekolah unggul atau sekolah yang
efektif (effective school). Yang menjadi persoalan adalah model
manajemen yang bagaimana yang tepat bagi pendidikan Islam yang memiliki mutu
tinggi dan berkarakter Islami?
Adapun model-modelnya yaitu sebagai
berikut:
1. Model Manajemen
Bernuansa Entrepreneurship.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa
sebagian besar pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan dari
kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai
tambah. Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah manajemen yang
bernuansa entrepreneurship. Rhenald Kasali dalam “Paulus Winarto menegaskan
bahwa seorang entrepreneur adalah seorang yang menyukai perubahan,
melakukan berbagai temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain”,
menciptakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain,
karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan dilembagakan agar
kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain. Seorang manajer yang
sekaligus sebagai seorang entrepreneur memiliki karakter sebagai
berikut: memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai tantangan, punya daya
tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan selalu berusaha memberikan yang
terbaik.
Menjadi seorang entrepreneur diperlukan
integritas yang kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk
menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Seorang entrepreneur adalah
orang yang berani mengambil keputusan “keluar dari zona nyaman dan masuk ke
dalam zona ketidakpastian (penuh resiko)”. Manajer yang biasa (konvensional)
sebenarnya adalah orang yang paling membutuhkan keamanan dan status quo,
dan sebaliknya takut pada perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di
puncak piramida dalam struktur organisasi dengan segala fasilitas, kedudukan
dan kehormatan yang melekat padanya.[9]
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran
surat Hud ayat 85, yang berbunyi:
“Dan
kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.
dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu
dalam Keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan
azab hari yang membinasakan (kiamat).
Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan
dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS. Hud : 84-85)
Dua ayat di atas
mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama
yang dibawanya. Nabi Syu’aib mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan
mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan
selama ini.
Seorang entrepreneur pada dasarnya adalah
seorang pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu yang baru,
dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang dilakukan itu
membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan memberi nilai tambah bagi diri
maupun orang lain. Dalam upaya untuk menciptakan nilai tambah
seorang entrepreneur sangat mengutamakan kekuatan brand, yaitu
citra atau merek yang kuat atas apa yang dilakukannya. Dengan brand yang
baik jelas akan memberikan value yang tinggi. Brand image bagi
sebuah lembaga pendidikan merupakan aset yang paling berharga yang mampu
menciptakan value bagi stake holder dengan meningkatkan kepuasan
dan menghargai kualitas dan akhirnya melahirkan kepercayaan. Seorang manajer
yang sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa membangun brand belaka,
namun juga memanfaatkan kekuatan brand untuk melipatgandakan
akselerasi sebuah perubahan.
Berikut kalimat singkat, menarik yang diucapkan
oleh KH Ahmad Dahlan, ”Hidup-hidupi Muhammadiyah dan jangan
mencari hidup di Muhammadiyah”. Dapat ditafsirkan dalam konteks
semangat entrepreneurship. Artinya setiap orang yang bekerja di lembaga
amal usaha Muhammadiyah harus mampu memberikan nilai tambah bagi perkembangan
lembaganya. Dengan cara inilah akan terjadi penumpukan capital (capital
development) sehingga amal usaha Muhammadiyah dapat terus tumbuh dan
berkembang.
Institusi yang memiliki
nuansa entrepreneur, juga akan memikirkan bagaimana cara melakukan
manajemen ketahanan pangan. Artinya keungan yang ada pada bendahara itu bisa
terus berlangsung dan berkembang.
Manajemen ketahanan pangan, telah diberikan
contohnya oleh Nabi Yusuf AS. yaitu sebagai berikut:
a. Mensyukuri dan mengoptimalisasikan
pemanfaatan sumber daya alam.
Penyelenggara institusi pendidikan Islam, hanya
mempunyai dua pilihan dalam menjalani proses tersebut. Pilihan itu ialah syukur
ataukah kufur. Syukur akan makmur, dan kufur akan kecebur (artinya berada pada
posisi terendah dan hina). Juga mampu memanfaatkan sarana dan prasarana yang
sudah disediakan oleh alam.
b. Etos bercocok tanam dan memproduksi
pangan.
Poin ini meniscayakan adanya manajemen
perencanaan pembenihan, pengolahan lahan, penanaman dan perawatan. Maksudnya
lembaga pendidikan diharapkan bisa melaksanankan rekrutment dengan baik, proses
pembelajaran yang pengajarnya tidak hanya cerdas, tetapi transformatif dan memberikan
pelayanan (service) yang maksimal kepada warga dalam institusi tersebut.
c.
Prinsip swasembada pangan dalam jangka panjang,
minimal tujuh tahun.
Prisnsip swasembada ialah prinsip usaha
mencukupi diri sendiri. Artinya institusi jangan hanya mengharapkan bantuan
pemerintah. Tetapi ada usaha lain yang dilakukan dengan kerja keras. Sehingga
apabila pemerintah mungkin menghentikan bantuannya, tidak ada kekhawatiran yang
tinggi. Apabila mau mencontoh nabi Yusuf AS. tentunya hal itu dilakukan minimal
selama tujuh tahun.
d. Berorientasi futuristik.
Yaitu etos menyimpan atau menabung dan
mengelola stok pangan yang memadai untuk jangka panjang. Setelah berhasil
melakukan ketiga proses diatas, apabila bendahara mempunyai budget yang cukup,
tidak kemudian budget itu digunakan dengan seenaknya, tetapi diharapkan
bisa diinvestasikan.[10]
2. Model Manajemen Berbasis
Masyarakat (Management Based Society)
Yaitu manajemen yang dapat menjaga hubungan
baik dengan masyarakat sekitar. “Data EMIS Departemen Agama menunjukkan 90% madrasah
berstatus swasta dan 100 % pesantren adalah swasta”. Ini berarti bahwa lembaga
pendidikan Islam adalah lembaga milik masyarakat, atau bisa dikatakan
“dari, oleh dan untuk masyarakat”. Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah
manajemen yang dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima,
dimiliki dan dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan
potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya. Konsep Manajemen berbasis sekolah
(Management Based School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society
Based Education) dalam konteks otonomi daerah, lahir karena dilandasi oleh
kesadaran bahwa masyarakat punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga
pendidikan di daerahya disamping sekolah dan pemerintah.
Bagi lembaga
pendidikan Islam yang memang “dari, oleh dan untuk masyarakat”, maka
mengembalikan pendidikan Islam kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan
apabila pendidikan Islam ingin mengambil dan mendayagunakan kekuatannya. Dengan
kata lain, masyarakat adalah kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut
pendidikan Islam dari grass root nya (masyarakat) justru akan memperlemah
pendidikan Islam itu sendiri. Pondok pesantren yang mampu menjaga hubungan
baiknya dengan basis sosialnya terbukti dapat terus berkembang, dan sebaliknya
akan mengalami surut ketika ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Lembaga-lembaga
pendidikan di negara-negara maju terutama yang berstatus privat pada umumnya
terdapat lembaga semacam Dewan Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan Penyantun,
Majlis Wali Amanah dan lain sebagainya yang antara lain bertugas
memperhatikan hubungan, kedekatan dan aspirasi masyarakat serta siap
mendayagunakan potensi masyarakat dan memberikan layanan pengabdian (langsung
maupun tidak langsung) kepada masyarakat. Di Stanford University misalnya
ada The Board of Trustees yang berwenang mengelola dana hibah dan
hadiah (grand), sumbangan (endowment) dan lain sebagainya yang
dihimpun dari dana masyarakat untuk pengembangan Stanford University.[11]
Di beberapa
universitas luar, seperti di University of London United Kingdom dan
McGill University Canada misalnya terdapat lembaga yang namanya Board of
Governor. Anggota lembaga ini sebagian besar dari luar universitas yang pada
umumnya memiliki tugas dan peran sebagaimana The Board of Trustees pada Stanford
University. McGill University misalnya, lembaga ini dapat berkembang karena
semangat amal dari masyarakatnya. Diawali dari hibah James McGill yang
menghibahkan sebagian kekayaannya berupa uang 10.000 pound sterling dan tanah
40 hektar beserta real estat yang ada di dalamnya, lembaga ini didirikan dan
berkembang dengan terus menggali dana dari masyarakat sampai sekarang. Di
McGill, semangat beramal itu tidak hanya dalam pengertian materi terutama dari
para dermawan dan hartawan, tetapi juga perbuatan dengan kontribusi tenaga
maupun pikiran. Dosen, karyawan dan pimpinan McGill rela bekerja keras karena
dilandasi oleh semangat amal, semangat beribadah.
“dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al Baqarah : 143)
Umat
Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi
atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di
akhirat. Semangat beramal untuk membangun lembaga pendidikan dalam tradisi iman
umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan umat Islam pernah menjadi
pelopor (avant-garde) dalam komitmennya mengembangkan lembaga pendidikan
melalui semangat amal. Yang menjadi persoalan sekarang adalah,
bagaimana upaya rekonstruksi semangat beramal ini dalam mengembangkan
pendidikan Islam? Pertama, adanya lembaga semacam Board of Trustees atau
semacam Majlis Wali Amanah yang anggotanya dari wakil masyarakat yang memiliki
integritas dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan Islam. Kedua,
perlu dibangkitkan kembali semangat juang (jihad), etos kerja semua komponen stake
holder internal sebagai wujud amal (perbuatan) nyata. Ketiga, perlu
diterapkan manajemen mutu terpadu (total quality management) dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam.[12]
3. Model Manajemen Berbasis
Masjid (Management Based Mosque)
Proses pembelajaran
yang integratif dengan masjid memberikan nuansa religius yang kental dalam
penanaman nilai-nilai religius maupun praktek langsung pengalaman beragama.
Dimulai dari pembiasaan shalat sunah, shalat dzuhur berjamaah dan
shalat ashar berjamaah bagi yang full day school.
Sampai saat ini pun,
sebagian besar institusi pendidikan Islam itu mempunyai masjid atau mushalah
yang menjadi pusat kegiatan spiritual pelajar maupun pengajar. Kata kuncinya
menjadi bagaimana mengaplikasikan konsep manajemen masjid kepada institusi
pendidikan Islam.
Mengapa belajar dari
manajemen masjid, berikut tulisan spektakuler Muhbib Abdul Wahab, yang dimuat
pada harian Republika Online (ROL) bahwa alasannya karena “Masjid adalah
pusat dan sumber inspirasi dalam segala hal, karena di masjid semua Muslim hanya
mengabdi dan memohon pertolongan kepada Allah SWT (QS Al-Fatihah [1]: 5).
“hanya Engkaulah
yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”
Ayat ini oleh para
mufassir, antara lain, dimaknai ayat pembebasan manusia dari ketergantungan
kepada makhluk menuju tauhid sejati. Shalat berjamaah di masjid tidak
hanya melambangkan persatuan dan kebersamaan, tetapi juga persamaan (equality),
egalitarianisme, dan anti-diskriminasi. Yang kaya dan miskin, pejabat dan
rakyat, penguasa dan pengusaha dapat berdiri dalam shaf yang sama. Tidak ada
masjid hanya dikhususkan para penguasa, pengusaha, atau pejabat. Masjid,
seperti halnya kemerdekaan, adalah hak semua. Masjid mendidik kita untuk
mandiri, mengembangkan semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme
sejati”.[13]
Lembaga pendidikan
Islam hendaknya tidak tebang pilih dalam membuat kebijakan. Apabila pelajar
terlambat masuk gerbang, pelajar langsung mendapatkan hukuman, sekalipun murid
mempunyai alasan yang kuat atas keterlambatannya. Tetapi apabila guru yang
terlambat, tidak mendapatkan hukuman. Itulah yang kebanyakan terjadi, karena
tidak belajar dari antidiskriminasinya manajemen masjid.
Penutup
Dari uraian diatas
maka dapat disimpulkan bahwa pola/model manajemen lembaga pendidikan Islam
ialah model yang dapat dipelajari dan diterapkan agar lembaga pendidikan bisa
berkembang dan tentunya dapat diperhitungkan oleh lembaga pendidikan non Islam.
Pola manajemen
tersebut tidak terlepas dari peran seorang manajer tertinggi. Yang dalam hal
ini ialah kepala institusi (kepala sekolah). Serta adanya soliditas antara
semua penanggung jawab pendidikan (orangtua, guru, masyarakat/lingkungan
dan pemerintah.
Pola atau model
tersebut ialah:
1. Model Manajemen Bernuansa Entrepreneurship
Model ini merupakan model yang menuntut
institusi untuk mempunyai mental berwirausaha. Memiliki ketahanan pangan
(ketahanan keuangan) jangka panjang.
2. Model Manajemen Berbasis Masyarakat
Model ini ialah model dimana institusi
mampu untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat, mampu berkordinas dan
menerima aspirasi masyarakat. Masyarakat yang memang mampu untuk beramal,
tentunya diberdayakan secara proporsional.
3. Model Manajemen Berbasis Masjid
Model manajemen berbasis masjid yakni
manajemen institusi yang yang pergerakannya senantiasa bermuatan spiritual atau
religius. Tenaga pengajarnya tidak diskriminatif. Pada tataran ilustratif, imam
yang bacaannya suratnya salah atau lupa, sadar diri berhenti sejenak untuk
mendengarkan petunjuk bacaan yang benar dari ma’mum.
Daftar Pustaka
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Edisi Tiga, Cetakan 3, 2005.
Mudjib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta: Pranada Media, 2006.
Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi
ke Lembaga Akademik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006.
Syafaruddin, Manajemen
Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat. Penerbit Ciputat press, 2005.
Http://Kamusbahasaindonesia.Org/Manajemen, diakses pada 8 Maret 2015.
Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada tanggal 10 Maret 2015.
Jakarta:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada 9 Maret 2015.
Muhbib Abdul
Wahab, Manajemen Pangan Ala Nabi Yususf. as, diposting pada 3 Februari
2014, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as, diakses pada 9 Maret 2015.
Muhbib Abdul Wahab, Spirit Istiqlal, diposting pada 22 Agustus
2013,
[1] Http://Khazanah.Republika.co.id/Berita/Dunia-Islam/Islam-Nusantara/12/12/14/Mf0zqx-Lembaga-Pendidikan-Islam-Harus-Jadi-Jawara, diakses pada
tanggal 10 Maret 2015.
[2] Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Tiga, Cetakan 3, 2005,
hal. 751.
[4]
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat.
Penerbit Ciputat press, 2005, hal. 122
[5] Abdul Mudjib dan
Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Pranada Media,
2006, hal. 27.
[6]
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. hal. 126
[7] Sudarwan
Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, hal. 49.
[8] Sudarwan
Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik,
hal. 51
[9]
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. , hal.127
[10] Muhbib Abdul
Wahab, Manajemen Pangan Ala Nabi Yususf. as, diposting pada 3 Februari
2014,http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/02/03/n0dtpt-manajemen-pangan-ala-nabi-yusuf-as, diakses pada
9 Maret 2015.
[11]
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, hal. 57
[12]
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, hal. 59
[13] Muhbib Abdul
Wahab, Spirit Istiqlal, diposting pada 22 Agustus 2013, Jakarta:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/22/mrwy9w-spirit-istiqlal, diakses pada
9 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar